APBN 2024: Kian Besar Pasak dari Tiang

Pada 6 Januari lalu, Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani menyampaikan kinerja APBN 2024. Masalahnya, hampir seluruh asumsi dasar ekonomi makro pemerintah justru tidak tercapai. Hal ini menunjukkan ada permasalahan yang serius dari sisi perencanaan, karena tiga tahun sebelumnya pun terjadi hal yang serupa. Misalnya, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap USD yang mencapai rata-rata Rp15.847/USD sepanjang 2024. Dengan asumsi kurs APBN 2024 sebesar Rp15.000/USD, deviasi ini memberikan sinyal bahwa perencanaan fiskal tidak sepenuhnya didasarkan pada skenario realistis. Akibatnya, biaya impor meningkat, dan daya beli masyarakat semakin tertekan. Pemerintah harus menyadari bahwa stabilitas mata uang adalah fondasi kepercayaan investor dan masyarakat.
Begitu pula dengan realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,0% yang lebih rendah dari target 5,2%, yang menjadi bukti nyata dari lemahnya efektivitas stimulus fiskal. Selain itu, target lifting minyak 635 ribu BPH dan gas 1.033 ribu BSMH tidak tercapai, dengan realisasi masing-masing hanya 571,7 ribu BPH dan 973 ribu BSMH. Hal ini menegaskan lemahnya sektor energi sebagai penyumbang pendapatan negara. Kinerja yield SBN yang lebih tinggi dari target juga menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu mengelola risiko pembiayaan utang secara optimal.
Di sisi lain, kinerja Surat Berharga Negara (SBN) yang kurang kompetitif dibandingkan Surat Berharga Rupiah Indonesia (SRBI) menunjukkan tantangan dalam menarik investor jangka panjang. Pemerintah perlu mereformasi desain SBN agar lebih fleksibel dan menarik, sekaligus memperkuat tata kelola utang. Tanpa itu, ketergantungan pada instrumen jangka pendek hanya akan memperbesar risiko fiskal di masa depan. Kegagalan ini seharusnya menjadi momen refleksi untuk menyadari bahwa ada yang salah dari sisi perencanaannya.
Meskipun demikian, pemerintah tetap mengklaim bahwa ekonomi berkualitas mendukung kesejahteraan terus mengalami perbaikan. Namun, data yang disampaikan tidak berkata demikian. Nilai Tukar Nelayan (NTN) hanya sekitar 102, yang artinya jauh dari target NTN 107–110 pada 2024. Ketidaktercapaian ini menunjukkan bahwa sektor perikanan, yang menjadi tulang punggung perekonomian di beberapa daerah, belum memperoleh manfaat signifikan dari kebijakan fiskal yang ada. Klaim tersebut tampak sebagai narasi optimis yang tidak didukung data empiris. Mungkin memang belanja negara belum dioptimalkan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.
Selain belanja, bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan kinerja APBN adalah pendapatan negara. Pendapatan negara memang tumbuh positif sebesar 2,1% YoY mencapai Rp2.842,5T, tetapi tidak sebanding dengan peningkatan belanja negara yang naik tajam sebesar 7,3% YoY hingga mencapai Rp3.350,3T pada tahun 2024. Ketidakseimbangan ini mencerminkan strategi fiskal yang tidak efektif, karena kian besar pasak dari tiang. Ketergantungan pada belanja sebagai shock absorber berisiko memperbesar defisit tanpa memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Belum lagi penurunan PPh Badan sebesar -18,1% dibandingkan 2023 yang mengindikasikan tekanan berat pada sektor usaha, khususnya sektor pertambangan seperti batu bara, nikel, dan gas alam yang terdampak moderasi harga komoditas. Penurunan profitabilitas ini menunjukkan lemahnya daya saing sektor usaha nasional dalam menghadapi tantangan global. Hal ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan yang mendukung sektor produktif. Peningkatan belanja negara sering kali dianggap sebagai langkah positif, tetapi realitas menunjukkan bahwa banyak target pembangunan tidak tercapai. Pertumbuhan ekonomi, stabilitas nilai tukar, lifting minyak dan gas, serta indikator lainnya gagal memenuhi ekspektasi. Hal ini mencerminkan lemahnya efisiensi penggunaan anggaran, di mana belanja yang meningkat tidak mampu memberikan dampak yang sebanding terhadap kesejahteraan rakyat.
Meskipun anggaran pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial (perlinsos) meningkat dari 2023 ke 2024, tetapi tidak menunjukkan peningkatan signifikan dalam kesejahteraan rakyat. Inflasi yang terkendali lebih menunjukkan indikasi penurunan daya beli dibandingkan keberhasilan menjaga stabilitas harga. Pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas program perlinsos dan memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Tentunya tidak hanya setumpuk permasalahan yang masih belum terselesaikan, tetapi ada pula pencapaian defisit APBN 2024 sebesar 2,29% yang lebih rendah dari outlook semester I 2,70%. Namun, keberhasilan ini tidak diiringi dengan peningkatan signifikan pada indikator pembangunan. Anggaran besar yang tidak menghasilkan output berkualitas adalah cerminan kebijakan fiskal yang tidak efisien. Moderasi harga batu bara, nikel, gas alam, dan minyak mentah menekan PNBP dari sektor SDA baik migas dan non-migas, dengan penurunan masing-masing 4,5% dan 14,3% YoY. Hal ini menunjukkan ketergantungan tinggi pada komoditas primer yang rentan terhadap fluktuasi harga internasional. Meskipun BLU mencatat pertumbuhan positif sebesar 4,6%, ini belum cukup untuk menutupi defisit pada sektor lain. Pemerintah perlu mendorong inovasi dalam pengelolaan BLU agar kontribusinya terhadap APBN semakin signifikan.
Subsidi energi, pangan, dan pupuk yang besar mencerminkan tingginya ketergantungan pada belanja subsidi untuk menopang daya beli masyarakat. Ketergantungan ini, jika tidak diiringi dengan reformasi struktural yang menyeluruh, berpotensi menciptakan risiko fiskal jangka panjang. Sementara itu, belanja infrastruktur yang ditujukan untuk mendukung pembangunan IKN dan PSN sejauh ini belum menunjukkan dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Evaluasi terhadap efektivitas investasi di sektor ini menjadi sangat penting agar alokasi anggaran benar-benar mampu memberikan hasil yang diharapkan. Di sisi lain, meskipun anggaran untuk program perlinsos mengalami peningkatan, indikator kesejahteraan seperti angka kemiskinan dan tingkat pengangguran belum memperlihatkan perbaikan yang berarti. Tanpa evaluasi mendalam, sulit memastikan bahwa program-program tersebut benar-benar mencapai sasaran. Lemahnya pertumbuhan investasi juga menandakan iklim usaha di Indonesia belum cukup menarik. Oleh karena itu, pemerintah harus mempercepat reformasi struktural untuk mendorong investasi yang lebih produktif.
Walaupun defisit APBN 2024 berhasil dikendalikan, peningkatan rasio utang menjadi konsekuensi dari kebutuhan pembiayaan yang terus membesar. Pemerintah harus menemukan keseimbangan antara pembiayaan utang dan efisiensi belanja agar risiko fiskal dapat diminimalkan. Di sisi lain, pembiayaan non-utang belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan untuk mendukung program prioritas seperti pendidikan dan kesehatan. Ketidakpastian global yang memengaruhi kurs rupiah dan yield surat berharga menuntut pemerintah untuk segera mengadopsi kebijakan yang lebih responsif dan adaptif. Kinerja APBN 2024 mengungkapkan berbagai kelemahan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan. Langkah evaluasi yang komprehensif diperlukan agar setiap rupiah yang dibelanjakan dapat memberikan manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Untuk memperbaiki situasi ini, pemerintah harus mengambil langkah strategis, misalnya mendorong investasi di sektor produktif yang berbasis teknologi, dan meningkatkan efisiensi belanja negara melalui evaluasi menyeluruh. Reformasi struktural di sektor pendidikan, kesehatan, program perlinsos, dan infrastruktur juga harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa belanja publik memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas. Pemerintah juga bisa melakukan impact analysis untuk melihat seberapa besar kontribusi anggaran yang digunakan setiap Kementerian dan Lembaga terhadap target setiap institusi dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika tidak memberikan outcome yang jelas, lakukan pemotongan agar bisa digunakan di tempat lain.
Selain itu, koordinasi antar kementerian dan lembaga perlu ditingkatkan untuk menghindari tumpang tindih kebijakan yang menghambat pencapaian target pembangunan. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat membalikkan arah menuju ekonomi yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan tangguh di tengah ketidakpastian global.