Bukan Karena Permendag, Pailitnya Sritex Disebabkan Karena Mismanagement
Buruh mengendarai sepeda keluar dari pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (24/10/2024). (Foto: Antara/Mohammad Ayudha)
Kepala Center for Entrepreneurship, Tourism, Information and Strategy (CENTRIS) Universitas Sahid Gloria Angelita Tomasowa mengatakan, penyebab raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex pailit bukan karena adanya Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang baru berlaku lima bulan terakhir. Tapi lebih karena karena salah kelola utang.
“Penyebab mereka [Sritex] pailit itu karena salah kelola utang. Itu sudah terjadi sejak tahun 2020. Mereka salah mengelola utang baru untuk mencicil utang lama. Kalau secara bisnis, mereka sebetulnya baik-baik saja. Order lancar jaya,” kata Gloria, dalam keterangannya seperti dikutip Senin (4/11/2024).
Lebih lanjut, Gloria mencatat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 baru berlaku pada 17 Mei 2024, sehingga Permendag tersebut tidak terkait dengan permasalahan yang dihadapi industri tekstil yang sudah terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya. “Penerbitan Permendag adalah revisi Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor guna penyelesaian kendala perizinan impor dan penumpukan kontainer di pelabuhan utama seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak,” tuturnya.
Jika diteliti ketentuan impor komoditi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan Barang Tekstil Sudah Jadi Lainnya dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan ketentuan impor dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023. “Di situ terlihat, untuk impor TPT dan Barang Tekstil Sudah Jadi Lainnya diwajibkan memiliki instrumen berupa Persetujuan Impor (PI) dari Kementerian Perdagangan dengan persyaratan berupa pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian,” lanjut Gloria.
Dengan melihat secara detail Permendag Nomor 8 Tahun 2024, justru aturan ini diberlakukan untuk mengatasi berbagai hambatan dalam proses impor dan mendukung kelancaran perdagangan di Indonesia. Menurut Gloria, dengan kebijakan tersebut sebetulnya pemerintah berkomitmen untuk terus mendengar dan menanggapi masukan dari pelaku usaha demi menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Gloria menilai, pihak Sritex sebagai raksasa tekstil sebagai entitas terbuka di pasar modal dengan kode SRIL sebetulnya tidak jujur mengungkapkan ada masalah tata kelola keuangan mereka yang terjadi sejak 2020. “Sritex sebetulnya tidak perlu mencari-cari kambing hitam terhadap persoalan yang disebabkan internal mereka. Justru harusnya pemilik Sritex duduk bersama pemerintah yang berkomitmen menyelamatkan industri padat karya tersebut,” ungkapnya.
Sebelumnya, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menyebut seluruh pihak harus melihat kebangkrutan industri tekstil termasuk Sritex, dari perspektif yang lebih luas. Bukan justru menjadikan Permendag 8/2024 sebagai kambing hitam.
“Kita perlu melihat latar belakang dari masalah-masalah yang menumpuk di sektor tekstil, termasuk persaingan dengan produk impor murah dan manajemen perusahaan,” kata Firdaus, di Jakarta, Kamis (31/10/2024).
Menurut dia, pengendalian impor memang dapat melindungi produsen dalam negeri, namun juga bisa menjadi tantangan bagi pelaku usaha yang masih bergantung kepada bahan baku impor.
Sementara itu, ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyebut permasalahan industri tekstil tidak hanya soal regulasi. Namun, banyak terkait tantangan lama yang belum terselesaikan. Misalnya, harga energi dan bahan baku yang masih tinggi, berdampak kepada rendahnya daya saing.
Ia menyoroti perlunya subsidi energi atau insentif lain untuk meringankan beban produsen tekstil dalam negeri, agar mampu bersaing lebih baik di pasar global. Hal itu, menurutnya, akan lebih efektif dalam menciptakan lingkungan usaha yang stabil dan berdaya saing tinggi.
Matnur, sapaan akrabnya, menyebut tidak adil jika Permendag 8/2024 dianggap pemicu runtuhnya Sritex. Suka atau tidak, industri tekstil nasional menghadapi banyak tantangan berat, salah satunya adalah tingginya biaya produksi, termasuk harga listrik dan bahan baku.
Di negara-negara seperti Vietnam dan Bangladesh, biaya produksi jauh lebih rendah, membuat produknya lebih kompetitif di pasar global. “Pemerintah bisa membantu menurunkan biaya produksi dengan subsidi energi atau insentif bagi produsen tekstil agar dapat bersaing lebih baik di pasar,” ujar Matnur.
Dia juga menyoroti sulitnya akses bahan baku berkualitas yang dihadapi produsen tekstil dalam negeri. Banyak perusahaan tekstil Indonesia terpaksa mengimpor bahan baku, karena kualitas bahan lokal sering tak memenuhi standar.
Pun demikian, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda (PP) Muhammadiyah Dedi Irawan menilai, tuduhan Permendag 8/2024 sebagai biang kerok pailitnya Sritex, terlalu mengada-ada. Dia bilang, kondisi finansial Sritex sudah bermasalah jauh sebelum Permendag 8 Tahun 2024 diluncurkan.
“Sulit membayangkan perusahaan sebesar Sritex bisa hancur hanya karena peraturan yang baru berumur lima bulan. Ini lebih terkait dengan kesalahan manajemen,” jelasnya.
Asal tahu saja, Permendag 8/2024 adalah revisi dari Permendag 36/2023. Fokus peraturan ini adalah pengendalian impor barang tekstil dengan tujuan melindungi industri dalam negeri dari produk asing yang membanjiri pasar domestik.
Permendag 8/2024 yang berlaku pada Mei 2024, tidak ada kaitannya dengan pailit Sritex yang diputus Pengadilan Niaga Semarang. Sedangkan masalah keuangan atau menggunungnya utang sudah mengganggu Sritex sejak 2021.
Mismanagement bikin Utang Menggunung
Sejatinya, sejak 2021 keuangan Sritex sudah kembang kempis. Pihak otoritas bursa telah menetapkan suspensi perdagangan efek Sritex sejak 18 Mei 2021. Hal itu terkuak dari pengumuman BEI nomor Peng-00020/BEI.PP3/06-2024 tanggal 28 Juni 2024.
Pengumuman terbaru membuat Sritex semakin tak ada harapan. Artinya, pemilik saham dipastikan menanggung rugi dengan nilainya fantastis.
Mengutip RTI Business, aplikasi jual-beli saham dan investasi yang terpercaya, total saham Sritex sebanyak 20,45 miliar, sebagian besar digenggam PT Huddleston Indonesia.
Ternyata, PT Huddleston Indonesia ini, adalah perusahaan yang didirikan keluarga Lukminto, pendiri Sritex juga. Perusahaan ini menjadi pengendali Sritex dengan kepemilikan 12,07 miliar saham, setara 59,06 persen.
Sementara porsi saham investor ritel Sritex sebanyak 8,15 miliar lembar, setara 39,89 persen. Sisanya dimiliki manajemen Sritex, yakni Iwan Setiawan Lukminto sebanyak 109,11 juta lembar atau setara 0,53 persen, dan Iwan Kurniawan Lukminto sebanyak 107,63 juta atau setara 0,52 persen.
Nilai total kepemilikan investor ritel pada harga terbaru saham SRIL di Rp146 per saham, mencapai Rp1,19 triliun. Dalam 3 tahun terakhir, harga saham SRIL macet di level itu.
Dalam lima tahun terakhir, saham Sritex anjlok 57 persen dan pernah menyentuh harga Rp362 per saham. Artinya, total kerugian investor ritel mencapai Rp1,76 triliun dalam 5 tahun.
Di balik kehancuran kerajaan bisnis tekstil yang didirikan HM Lukminto pada 1966, patut diduga karena inefisiensi yang ugal-ugalan. Utangnya besar, namun aset perusahaan rendah sekali.
Bisa jadi, utang perusahaan bukan untuk keperluan ekspansi usaha. Bisa saja untuk urusan pribadi.
Asal tahu saja, berdasarkan laporan keuangan per September 2023, total liabilitas (utang) Sritex mencapai US$1,54 miliar atau Rp23,87 triliun (kurs Rp15.500/US$).
Terdiri dari utang jangka pendek US$106,41 juta dan jangka panjang US$1,44 miliar. Utangnya didominasi utang bank dan obligasi.
Dan, utang Sritex ternyata lebih besar ketimbang nilai asetnya yang hanya US$653,51 juta, atau setara Rp10,12 triliun. Kurang dari setengah dari total utang Sritex yang mencapai Rp23,87 triliun. Ternyata, dana utangan Sritex banyak yang tidak untuk membeli aset.
Nah, jika upaya kasasi yang ditempuh Sritex ditolak Mahkamah Agung (MA), yang apes buruh atau pekerja Sritex dan pemilik sahamnya.
Seluruh aset Sritex akan dibagi-bagi untuk berbagai urusan. Tentu saja prioritasnya untuk melunasi semua utang perusahaan.
Karena nilai asetnya rendah, jangan harap pekerja atau buruh Sritex mendapatkan pesangon. Demikian pula investor ritel, jangan berharap duitnya kembali. Jangankan 50 persen, bisa balik 10 persen saja untung.