Market

Deflasi 2 Bulan Beruntun, Masyarakat tak Punya Uang buat Belanja


Kondisi deflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) yang terjadi dalam dua bulan berturut-turut sejak Mei sampai Juni 2024 menjadi sinyal kuat daya beli masyarakat Indonesia tengah tertekan. Pasokan barang yang tersedia tak banyak terserap karena permintaan untuk pembeliannya berkurang.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2024, IHK mengalami deflasi sebesar 0,08 persen secara bulanan atau month to month (mtm). Data ini turun bila dibandingkan deflasi per Mei 2024 yang sebesar 0,03 persen mtm.

“Jadi deflasi itu indikasi dari daya beli masyarakat menurun,” ucap Ekonom dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati dalam Program Profit CNBC Indonesia, seperti dikutip Selasa (2/7/2024).

Ia menjelaskan, anjloknya daya beli yang menyebabkan deflasi atau turunnya harga barang itu dipicu oleh semakin minimnya pendapatan masyarakat. Seiring dengan maraknya data pemutusan hubungan kerja atau PHK beberapa bulan terakhir di sektor padat karya, seperti Industri Tekstil dan Produk dari Tekstil (TPT) serta sektor digital.

“Tendensinya terlihat pengusaha pelan-pelan sudah PHK karena biaya jadi mahal kalau suku bunga tinggi,” ucap Ninasapti.

Mengutip data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) PHK di sektor industri itu telah mencapai 10.800 tenaga kerja, naik 66,67 persen secara tahunan hingga Mei 2024. Di sisi lain, untuk di sektor digital terjadi pada perusahaan e-commerce seperti Tokopedia dan TikTok Shop yang mencapai 450 orang.

“Jadi PHK itu berjalan terus tetapi pencatatannya tidak ada di pemerintah dalam hal ini di Kementerian Ketenagakerjaan,” tutur Ninasapti.

Kalangan pengusaha pun telah mengamini permasalahan yang menyebabkan deflasi terjadi dua bulan berturut-turut itu.

Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, saat ini iklim berusaha di Indonesia memang sangat sulit, selain karena tren kebijakan suku bunga tinggi, nilai tukar rupiah juga terus tertekan di atas Rp16.400 beberapa pekan terakhir.

Oleh karena itu, mau tak mau pengusaha harus melakukan efisiensi. Salah satunya dengan PHK. Ketika banyak pekerja yang kehilangan mata pencahariannya akibat PHK, tak heran daya beli mereka tertekan, dan kemampuan untuk belanja menjadi semakin berkurang, bahkan harus dipenuhi dengan menggunakan tabungannya.

“Mengingat juga industri padat karya melepaskan atau mem-PHK begitu banyak, puluhan ribu karyawan dalam dua tahun terakhir, sehingga karyawan yang kehilangan pekerjaan otomatis mereka daya belinya melemah karena mereka bergeser menjadi tenaga kerja informal,” ungkap Danang.

Berdasarkan Survei Konsumen Bank Indonesia pada Mei 2024, data untuk persentase tabungan terhadap pendapatan mulai terus menurun. Pada April 2024 persentasenya sebesar 16,7 persen, namun pada Mei 2024 menjadi haya 16,6 persen. Demikian juga untuk data porsi konsumsi terhadap pendapatan yang turun. Pada April 2024 masih sebesar 73,6 persen, namun pada Mei 2024 menjadi 73 persen.

Laporan Mandiri Spending Index (MSI) juga menunjukkan bahwa fenomena makan tabungan atau mantab terlihat pada kelompok bawah dan menengah sejak kuartal IV-2023 hingga saat ini.

Pada masyarakat di kelompok bawah (konsumen dengan rata-rata tabungan kurang dari Rp1 juta) terpantau mengalami tren penurunan tabungan bahkan sejak April 2023 hingga saat ini dengan indeks menjadi hanya di posisi 40,6.

Sementara untuk kelompok tengah (konsumen dengan rata-rata tabungan Rp1 juta-Rp10 juta) mengalami tren penurunan tabungan sejak Oktober 2023 hingga merosot ke level indeks di angka 95,4. Berbeda halnya dengan kelompok atas yang justru mengalami tren kenaikan tabungan sejak Januari 2024 ke posisi 107,4.

Oleh sebab itu, Danang menekankan, tak ada opsi lain bagi pemerintah untuk kembali memperbaiki daya beli masyarakat dengan mempermudah iklim usaha industri padat karya berkembang yang banyak serap tenaga kerja, ketimbang hanya fokus pada industri pengolah sumber daya alam yang cenderung padat modal.

“Karena Indonesia ini pertumbuhan ekonominya masih sangat tergantung pada barang-barang komoditas sampai saat ini termasuk misalnya CPO, batu bara, ini kan barang-barang komoditas yang value addednya tidak lebih besar daripada produk-produk manufaktur,” ujar Danang.

 

Back to top button