GBK, Stadion Era Soekarno yang Dirancang Arsitek Kelahiran Sumut
Gelora Bung Karno (GBK) merupakan salah satu stadion kebanggan sekaligus ikon dunia olahraga yang pernah ada di Indonesia. Tak hanya itu, GBK juga kerap menjadi saksi berbagai momen epik laga internasional.
Seperti halnya pertandingan antara Timnas Indonesia melawan Australia yang berlangsung pada Selasa (10/9/2024), dalam laga Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
Bukan cuma sepak bola, Stadion GBK juga kerap menjadi tempat pertunjukan musik dan berbagai acara lain yang mengundang banyak orang. Stadion yang mampu menampung 78.000 orang itu menjadikannya salah satu stadion terbesar di Indonesia.
Sejarah GBK
Mengutip situs kemdikbud.go.id, GBK dibangun tahun 1960 pada masa pemerintahan Presiden RI pertama, Soekarno.
Ini bermula dari keterpilihannya Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games ke-IV yang digelar tahun 1962. Ini menjadi kesempatan bagi Presiden Soekarno menunjukkan betapa hebatnya Indonesia di mata dunia.
Pembangunan pun dimulai pada 8 Februari 1960 dengan biaya yang tidak sedikit yakni 12,5 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp15,6 miliar (kurs saat itu 1 dolar AS = Rp1.205).
Stadion GBK dirancang oleh arsitek bernama Friederich Silaban, pria kelahiran 16 Desember 1912 Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Sejak remaja, Friederich sudah menggemari ilmu arsitek.
Melihat potensi tersebut, sang ayah pun memasukkan Friedrich ke sekolah arsitektur di Bandung, yang saat ini bernama Institut Teknologi Bandung (ITB). Kemudian ia melanjutkan studinya ke sekolah jurusan arsitektur di Academie Van Bouwkunst, Amsterdam, Belanda pada tahun 1950.
Setelah tamat, ia menjajaki karier sebagai pegawai Kotapraja di Batavia (Jakarta). Dari sinilah namanya mulai dikenal oleh para tokoh hingga menjadi sosok arsitek yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno.
Soekarno mempercayakan Friederich Silaban menjadi arsitek Stadion GBK yang dibangun di kawasan Senayan, Jakarta. Pemancangan tiang pertama disaksikan langsung oleh Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Kruschev.
Hadirnya Kruschev bukan tanpa sebab, yakni karena Uni Soviet memberikan kredit lunak senilai 12,5 juta dolar AS.
Soekarno yang juga merupakan Insinyur Sipil Jurusan Bangunan dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB) mempunyai rancangan sendiri soal wujud stadion utama yang akan dibangun.
Ketika itu ia terinspirasi air mancur di Museo Antropologia de Mexico ketika berkunjung ke Meksiko. Dilihat dari arah tempat duduknya, nampak bentuk atap bundar dari sumber air mancur yang disangga tiang beton.
Maka, seluruh bagian atap stadion utama GBK dirancang sama sekali tidak memakai penyangga di tengah. Sehingga, penyangga atap seluruhnya berada di tepi mengelilingi bangunan stadion.
Stadion seluas 225 hektar ini selesai pada 21 Juli 1962. Namun, pada saat peresmiannya, belum memiliki nama. Nama Gelora Bung Karno dipilih setelah diskusi antara Presiden Soekarno dan sejumlah menteri.
Sebelumnya, stadion ini hanya dikenal sebagai Gelanggang Olahraga. Kemudian pada masa Orde Baru (Orba), namanya diubah menjadi Stadion Senayan.
Namun, saat kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gusdur), nama stadion dikembalikan yakni Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Pada tahun 2016-2017, GBK mengalami renovasi besar-besaran. Semua bangku penonton diganti dengan kursi tunggal flip up. GBK juga dilengkapi dengan standar FIFA dan memiliki tingkat pencahayaan yang sangat tinggi yang mencapai 3.500 lux.
Stadion berkapasitas 78.000 penonton ini menjadi salah satu stadion dengan pencahayaan terbaik di dunia.