Market

Industri Jongkok di Era Jokowi Bikin Sulit Prabowo Kibarkan Ekonomi 8 Persen


Sebagai presiden terpilih 2024-2029, sah-sah saja Prabowo Subianto menyanggupi ekonomi tumbuh 8 persen. Tapi bagaimana caranya?

Jika hanya mengandalkan sektor konsumsi sebagai penopang ekonomi, menurut Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini, agak berat. Kalau dipaksakan, hasilnya tak akan bergeser dari 10 tahun kekuasaan Jokowi yang ekonominya hanya tumbuh 5 persenan.

“Ekonomi Indonesia selama 2 dekade ini, gagal mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi karena hanya mengandalkan konsumsi dan sektor jasa yang bercampur sektor informal. Gagal menjadikan industri sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi,” papar Prof Didik, Jakarta, dikutip Kamis (20/6/2024).

Dengan sektor jasa yang tidak modern dan hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga, lanjut Prof Didik, serta merta ekonomi kehilangan lokomotifnya. “Pada akhirnya, ekonomi hanya tumbuh rendah atau moderat saja,” kata Prof Didik.

Selanjutnya, peneliti Indef ini, menyebut India dan Vietnam layak menjadi acuan bagi Indonesia. Pada 2023, pertumbuhan ekonomi India mencapai 8,4 persen, sedangkan Vietnam meski sempat melambat masih mencatatkan pertumbuhan 5,05 persen.

Baik India maupun Vietnam, menurut Prof Didik, berhasil menjadikan industri sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Terutama India, industri manufakturnya berhasil tumbuh hingga dua digit.

‘Selama ini, kementerian perindustrian mandek dan mandul dalam menjalankan kebijakan industrinya. Faktor kritis dalam pertumbuhan ekonomi di masa Prabowo nanti terletak di kementerian ini,” ungkap Prof Didik.

Dalam catatannya, peran kementerian yang dipimpin Agus Gumiwang Kartasasmita ini, sangat terbatas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Selama ini, industri hanya tumbuh 3-4 persen saja.

“Terkesan, industri dimatikan karena kebijakan yang surut dan tidak memberikan kesempatan, ruang dan dorongan bagi berkembangnya industri nasional,” tuturnya.

Aroma deindustrialisasi di era Jokoi pun pernah disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani. Dalam sepuluh tahun terakhir, kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), terus menyusut.

Pada 2014, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB hanya 21,28 persen. Turun ketimbang 2013 yang masih berkontribusi 23,6 persen, atau senilai Rp2.152,6 triliun dari total PDB Rp9.084 triliun.

Kondisi 2023, lebih memprihatinkan, kontribusi manufaktur tersisa 18,67 persen atau Rp3.900 triliun dari total PDB sebesar Rp20.892 triliun.  

“Pelaku usaha dan analis ekonom selalu menyampaikan kekhawatiran terkait deindustrialisasi yang semakin cepat bila iklim usaha atau investasi sektor manufaktur tidak dibenahi,” tuturnya.  

Dengan matinya industri, kata dia, banyak kerugian yang harus ditanggung negara. Mulai dari melonjaknya angka pengangguran struktural dan kemiskinan. Produktivitas industri pengolahan hingga daya saing manufaktur semakin anjlok.

“Akibatnya apa? Produk lokal sulit bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri,” ungkapnya.

Back to top button