Kado Demokrasi dari Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT), sebesar 20% suara sah nasional atau 25% kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengajukan kandidat presiden dan wakil presiden, melalui putusan No. 62/PUU-XXII/2024, menjadi agenda penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Ikhwal dari putusan tersebut merupakan awal dari upaya meminimalisir dominasi oligarki yang sejauh ini telah menghegemoni jantung politik dan sistem pemilihan presiden.
Ketentuan PT terhitung telah diuji materi ke MK lebih dari 36 kali dalam kurun waktu satu dekade terakhir, tetapi selalu ditolak meski disertai perbedaan pandangan di antara para hakim MK. Dalam putusan-putusan sebelumnya, mayoritas hakim cenderung mendukung keberlanjutan aturan ambang batas sebagai open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dari pembentuk undang-undang. Namun, pada 2 Januari kemarin, terjadi pergeseran posisi pandangan hakim yang mempertimbangkan situasi demokrasi terkini. MK terang-terangan menilai, jika mempertahankan ambang batas pencalonan presiden tidak konstitusional karena bertentangan dengan hak politik warga negara.
Benar bahwa sistem PT secara normatif terlihat logis, tetapi dalam pelaksanaan sekadar memperkuat dominasi partai-partai besar. Fenomena ini pada akhirnya sebatas menciptakan kondisi politik transaksional, di mana koalisi partai yang terbentuk hanya karena pragmatisme politik daripada kesamaan ideologi. Dengan dihapusnya PT, artinya semua partai, termasuk partai-partai kecil, memiliki peluang untuk mempersiapkan dan mencalonkan kandidatnya pada gelanggang elektoral 2029 mendatang. Akan tetapi, apakah itu akan menghadirkan lebih banyak calon pemimpin yang berkualitas, bersih dari praktik KKN, dan tidak terperangkap dalam cengkeraman oligarki ekonomi? Belum tentu. Kita harus melihat bagaimana dinamika sistem ini berjalan pasca-penghapusan.
Ajang Evaluasi
Seyogyanya, keputusan MK patut diapresiasi. Meski di satu sisi, putusan tersebut akan menciptakan sejumlah kerumitan baru, khususnya menyangkut stabilitas politik di parlemen. Karena, presiden terpilih lazimnya perlu dukungan mayoritas kursi partai pendukung. Maka dengan hasil putusan MK, presiden terpilih memungkinkan berasal dari partai tanpa suara signifikan. Tentunya, ini akan membuat posisinya di parlemen berpotensi menciptakan risiko dimakzulkan.
Selanjutnya, dengan ditiadakannya PT, terdapat peluang mendesain gelanggang Pilpres yang bisa diisi lebih dari tiga calon presiden dan wakil presiden. Artinya, masyarakat diperhadapkan pada kemungkinan akan muncul calon pemimpin demagog. Demagog dalam artian, seorang yang pandai menghasut, memproduksi janji-janji manis, tamak terhadap kekuasaan daripada akal sehat dan nasib rakyat. Pada titik ini, sebagai warga negara, kita perlu melipatgandakan kecerdasan agar dapat terhindar dari berbagai manipulasi calon pemimpin demagog. Apapun latar belakangnya, perlu diuji gagasan, ditelusuri relasi politik, serta jejaring kepentingan ekonominya. Dari situ, publik bisa mengetahui kemana arah dan gerak negara ini ke depan.
Dalam amar putusan kemarin, MK telah menegaskan dalam pertimbangan hukumnya bahwa pengusulan pasangan capres dan cawapres adalah hak konstitusional (constitutional right) semua parpol yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu, dan pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tak muncul pasangan calon yang terlalu banyak melalui revisi UU. Sehingga, kondisi itu berpotensi merusak dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
Langkah di atas tidak sekadar memperkuat prinsip kesetaraan, melainkan membuka kompetisi politik yang lebih adil dan inklusif, serta menghindarkan masyarakat dari polarisasi dan memperluas alternatif pilihan politik untuk pemilih. Dikarenakan putusan ini pun akan kembali memberikan kesempatan dinasti politik untuk berkuasa, sekaligus ajang pembuktian apakah kecurangan politik dominan mempreteli calon yang diharapkan rakyat atau sebaliknya kekuasaan akan tunduk di hadapan kepentingan umum.
Situasi internal parpol menentukan tingkat kemampuan strategi dan manajemen partai dalam menghadirkan calon presiden untuk dipertarungkan pada pilpres selanjutnya. Adapun faktor eksternal yang bisa mempengaruhi kemampuan parpol dalam melahirkan kandidat, terutama berkaitan dengan komitmen loyalitas parpol terhadap eksistensi Presiden Prabowo yang hari ini terbilang kuat. Maka dengan peluang yang telah diberikan oleh MK, setidaknya akan menjadikan koalisi pada pilpres 2029 terlihat cair jika parpol memahami makna dan pesan di balik penghapusan PT. Parpol sudah seharusnya mulai berbenah dan menjalankan fungsinya sebagai institusi yang bisa mencetak kader yang sesuai dengan kebutuhan zaman, kondisi negara, dan harapan publik.
Agenda Bersama
Putusan MK sepantasnya tak boleh mendapat distorsi apalagi mengingkari. Keputusan ini sangat baik untuk masa depan demokrasi Indonesia jadi lebih adil, setara, dan inklusif. Lebih lanjut, ini merupakan langkah baru membuka akses demokrasi yang selama ini tertutup tirani mayoritas parpol yang dominan. Kemudian dengan bersandar pada sikap MK sebagai the guardian of democracy, kiranya memberi dampak dan peluang bagi partai politik untuk melakukan reformasi internal. Dengan penghapusan tersebut, seyogianya momentum bagi partai agar dapat menunjukkan komitmen pada demokrasi lebih inklusif.
Selain itu, penghapusan ambang batas juga menimbulkan kecemasan akan terjadinya fragmentasi politik berlebihan. Dengan peluang munculnya banyak calon presiden, ada risiko suara pemilih terpecah dan menghasilkan presiden terpilih dengan dukungan yang relatif kecil. Hal ini bisa menghidupkan masalah legitimasi dan stabilitas pemerintahan ke depannya. Terlepas dari beragam potensi perubahan, yang pasti penghapusan PT akan membuat pemilu menjadi dinamis dan menarik untuk diikuti.
Namun tantangan sesungguhnya kini terletak pada implementasinya. Akankah putusan ini dijalankan sepenuhnya atau malah terganjal oleh potensi distorsi lembaga legislatif yang bisa mengurangi esensinya? Masa depan demokrasi ada di persimpangan ini, yakni momen krusial untuk memastikan hukum bekerja bagi rakyat, bukan kepentingan politik semata. Dan independensi MK harus tetap dijaga. Masyarakat tidak boleh membiarkan lembaga tersebut kembali terkooptasi oleh kepentingan pragmatis penguasa. Dengan demikian, publik dituntut untuk mengevaluasi lagi struktur koalisi parpol yang selama ini terbangun. Koalisi yang lebih didorong pragmatisme politik, mesti juga digantikan oleh koalisi yang terjalin berlandaskan ideologi dan visi yang taat terhadap demokrasi dan supremasi hukum.