Market

Kalau Jauh dari Vietnam Cs, Indonesia Masuk Darurat Manufaktur


Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengakui, industri manufaktur di Indonesia mengalami perlambatan. Dampak anjloknya penjualan dan permintaan. 

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, perlambatan aktivitas industri manufaktur dalam negeri ditunjukkan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur pada Juni 2024, berada di level 50,7. Turun dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 52,1.

“Negara-negara manufaktur global, seperti RRT, India, Taiwan, Korea Selatan, Thailand, dan Vietnam justru mengalami kenaikan ekspansi,” paparnya, Jakarta, Senin (1/7/2024).

Untuk negara-negara di kawasan ASEAN, kata dia, terdapat dua negara yang mengalami kenaikan atas PMI manufaktur. Sebut saja Thailand, naik dari 50,3 pada Mei 2024, menjadi 51,7 pada Juni 2024. Sedangkan industri manufaktur Vietnam semakin tancap gas dari 50,3 pada Mei 2024, menjadi 54,7 pada Juni 2024.

Dia pun mengungkapkan dampak kinerja PMI Indonesia yang menurun. Dia bilang saat ini pelaku industri menurun optimismenya dalam perkembangan bisnis mendatang.

“Sektor industri saat ini memang sudah masuk ke kondisi alarming. Para pelaku industri menurun optimismenya terhadap perkembangan bisnis mendatang. Hal ini dipengaruhi oleh melemahnya pertumbuhan pesanan baru yang dipengaruhi oleh kondisi pasar, restriksi perdagangan di negara lain, juga regulasi yang kurang mendukung,” kata Febri.

Hal ini sejalan dengan laporan S&P Global yang menyebut pertumbuhan sektor manufaktur dalam negeri kehilangan momentum pada Juni 2024. Febri bilang hal ini disebabkan oleh kenaikan yang lebih lambat pada output, permintaan baru, dan penjualan.

Kondisi tersebut juga mempengaruhi kepercayaan diri terhadap output 12 bulan mendatang, yang tidak bergerak dari posisi terendah seperti bulan Mei lalu sekaligus salah satu yang terendah dalam rekor.

Adapun regulasi yang dimaksud, menurut Febri, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Dia menilai peraturan tersebut merelaksasi impor barang-barang dari luar negeri yang sejenis dengan produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri. Hal ini menyebabkan turunnya optimisme para pelaku industri dan berpengaruh pada penurunan PMI.

“Tidak seperti sebagian negara peers yang mengalami kenaikan PMI manufaktur, di Indonesia turun cukup dalam. Perlu adanya penyesuaian kebijakan untuk mendongkrak kembali optimisme dari pelaku Industri,” imbuhnya.

Untuk itu, dia mendesak adanya penyesuaian kebijakan atau policy adjustment yang diperlukan, seperti mengembalikan pengaturan impor ke Permendag No. 36 Tahun 2023, serta pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk sejumlah komoditas.

Dia juga menyoroti kondisi darurat yang dialami industri manufaktur di mana terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di mana-mana. Fenomena tersebut disebabkan penurunan permintaan pasar global dan membanjirnya produk impor yang ‘dilempar’ ke pasar dalam negeri akibat restriksi perdagangan oleh negara-negara lain.

“Apabila Indonesia tidak menerapkan peraturan terkait hal tersebut, produk-produk impor akan semakin membanjiri pasar dan memukul mundur produk-produk dalam negeri,” jelasnya.

Meski terjadi penurunan, Febri menilai sektor manufaktur Indonesia masih menunjukkan kondisi ekspansi yang mampu bertahan selama 34 bulan berturut-turut. Pihaknya pun mengapresiasi pelaku industri yang terus mempertahankan produktivitas dan menjaga bisnis di tengah kondisi global yang tidak pasti.

Senada, Kompartemen Sumber Daya Manusia Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Harrison Silaen menyampaikan pemerintah perlu mempunyai arah jelas untuk menangani masalah industri tekstil jika menganggap industri tersebut penting.

“Saat ini, pengusaha lokal sulit bersaing dengan produk tekstil yang masuk dengan masif,” ujarnya.
 

Back to top button