Kebun Sawit Bukan Hutan
Perdebatan tentang status perkebunan kelapa sawit kembali mencuat setelah pernyataan Presiden Prabowo yang menyamakan kebun sawit dengan hutan. Namun, penyamaan ini tidak hanya keliru secara ilmiah, tetapi juga berpotensi mengancam salah satu kekayaan terbesar Indonesia: keanekaragaman hayati atau biodiversitas.
Pernyataan bahwa kelapa sawit sama dengan hutan karena sama-sama memiliki pohon dan daun merupakan simplifikasi yang tidak bijaksana oleh seorang kepala negara yang salah satu kekayaannya adalah keanekaragaman hayati. Logika semacam ini mengabaikan kompleksitas ekosistem hutan yang telah terbentuk selama jutaan tahun. Hutan alami Indonesia bukan sekadar kumpulan pohon dan daun, melainkan rumah bagi ribuan spesies yang saling terhubung dalam jaring kehidupan yang rumit.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas dunia dengan kekayaan hayati yang menakjubkan. Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 115 jenis hewan mamalia yang merupakan 12% dari total mamalia dunia. Lebih spesifik lagi, negara ini memiliki 270 jenis mamalia endemik, 386 jenis burung endemik, 328 jenis reptil endemik, 204 jenis amfibi endemik, dan 280 jenis ikan endemik. Dari sisi flora, Indonesia menyimpan 30.000 spesies tanaman dari total 40.000 spesies tanaman tropis di dunia.
Kontras dengan kekayaan biodiversitas hutan alami, perkebunan kelapa sawit merupakan sistem monokultur yang secara sengaja meminimalkan kehadiran spesies lain. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah dengan tegas menyatakan bahwa sawit bukan tanaman hutan. Pernyataan ini bukan sekadar masalah definisi, tetapi berdasar pada “berbagai peraturan pemerintah, analisis historis dan kajian akademik berlapis,” seperti ditegaskan oleh Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto.
Praktik perkebunan sawit yang ekspansif dan monokultur telah menimbulkan beragam masalah ekologis, hidrologis, dan sosial. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sekitar 3,2 juta hektare lahan telah mengalami deforestasi akibat ekspansi sawit skala besar. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi representasi dari hilangnya habitat bagi ribuan spesies endemik Indonesia.
Aspek hidrologis merupakan salah satu faktor penting dalam membandingkan perkebunan sawit dengan hutan. Meski kelapa sawit memiliki sistem perakaran serabut yang relatif dangkal dibanding pohon hutan yang berakar dalam dan kompleks, kebutuhan airnya ternyata cukup bervariasi sesuai tahap pertumbuhannya. Bibit kelapa sawit di pembibitan utama membutuhkan sekitar 2 liter air per hari, tanaman di pre nursery memerlukan 300 ml per hari, dan di main nursery sekitar 3 liter per hari per batang.
Secara umum, perkebunan sawit membutuhkan air sekitar 4,10-4,65 mm per hari, yang setara dengan kebutuhan tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai. Dalam skala besar, misalnya perkebunan seluas 1 juta hektare dengan kepadatan standar 143 pohon per hektare (total 143 juta pohon), kebutuhan air hariannya mencapai 43,75 miliar liter. Namun perlu dicatat bahwa kelapa sawit tergolong efisien dalam menghasilkan energi – untuk memproduksi 1 liter biodiesel hanya membutuhkan 5,166 liter air. Dengan potensi produksi 4 miliar liter biodiesel per tahun dari lahan seluas itu, total kebutuhan airnya sekitar 20,66 miliar liter per tahun untuk produksi biodiesel.
Dengan teknik manajemen kebun dan konservasi tanah dan air yang tepat, tajuk kelapa sawit dewasa sebenarnya dapat menahan air hujan setara dengan tanaman hutan. Namun, hal ini sangat bergantung pada praktik pengelolaan yang baik dan berkelanjutan.
Argumen bahwa kelapa sawit menyerap karbon dioksida, meski benar, tidak dapat dijadikan pembenaran untuk mengabaikan fungsi ekologis hutan yang jauh lebih kompleks. Hutan alami tidak hanya menyerap karbon, tetapi juga menyediakan beragam jasa ekosistem lain: menjaga siklus air, mencegah erosi, menyediakan habitat bagi penyerbuk alami, dan mempertahankan keseimbangan ekologis yang vital bagi kehidupan manusia.
Indonesia memiliki beragam ekosistem, mulai dari padang rumput sabana, hutan bakau, hutan hujan tropis, hingga terumbu karang. Setiap ekosistem ini memiliki peran unik dalam menjaga keseimbangan alam dan menyediakan sumber daya genetik yang berharga. Misalnya, Indonesia memiliki beragam plasma nutfah yang dapat digunakan sebagai bahan pangan, seperti sapi bali dan berbagai jenis unggas lokal. Selain itu, negara ini juga kaya akan tumbuhan lokal yang dapat menjadi alternatif sumber pangan, seperti singkong, garut, sukun, jagung, sagu, kentang, ubi jalar, dan talas.
Pemerintah sendiri telah menyadari pentingnya membedakan antara perkebunan sawit dan hutan. Hal ini tercermin dalam berbagai kebijakan, termasuk Permen LHK P.23/2021 yang tidak memasukkan sawit sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Lebih jauh lagi, melalui regulasi jangka benah, pemerintah berupaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry.
Kebijakan ini membatasi penanaman sawit dalam kawasan hutan, dengan ketentuan yang ketat: untuk Hutan Produksi diperbolehkan satu daur selama 25 tahun, sementara untuk Hutan Lindung atau Hutan Konservasi hanya dibolehkan satu daur selama 15 tahun sejak masa tanam. Setelah itu, lahan wajib dikembalikan ke negara dan ditanami dengan pohon kehutanan.
Upaya ekspansi perkebunan sawit tanpa mempertimbangkan dampak ekologisnya berpotensi memperpanjang rantai masalah yang sudah ada: konflik agraria, kerusakan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, serta bencana ekologi. Lebih mengkhawatirkan lagi, praktik-praktik ilegal dan koruptif dalam industri sawit telah mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar. Sebagaimana diungkapkan oleh Hashim Djojohadikoesoemo, kebocoran penerimaan negara dari industri sawit per tahun bisa mencapai 300 triliun rupiah. Angka yang mencengangkan ini menunjukkan bahwa permasalahan sawit bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga tata kelola dan potensi kerugian negara yang masif. Bahkan Special Rapporteurs PBB telah menyoroti masalah pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan degradasi lingkungan hidup dalam industri kelapa sawit Indonesia.
Meski kelapa sawit memiliki nilai ekonomi yang signifikan bagi Indonesia, kita tidak boleh mengabaikan nilai tak tergantikan dari keanekaragaman hayati hutan alami. Biodiversitas bukan sekadar angka atau data statistik, tetapi merupakan asuransi kehidupan bagi generasi mendatang. Setiap spesies yang punah membawa serta potensi solusi untuk berbagai tantangan masa depan, mulai dari pengembangan obat-obatan hingga adaptasi terhadap perubahan iklim.
Mengaburkan perbedaan antara kebun sawit dan hutan alami bukan hanya kesalahan konseptual, tetapi juga dapat berimplikasi serius pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Kita perlu mengakui bahwa meski sama-sama hijau, kebun sawit dan hutan memiliki fungsi ekologis yang sangat berbeda. Kebun sawit dapat memiliki tempat dalam lanskap pembangunan Indonesia, tetapi tidak boleh dianggap sebagai pengganti hutan alami dengan segala kekayaan biodiversitasnya.
Tantangan ke depan adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan pembangunan ekonomi dengan pelestarian keanekaragaman hayati. Indonesia perlu mengembangkan model pembangunan yang tidak mengorbankan salah satu kekayaan terbesarnya: biodiversitas yang telah terbentuk selama jutaan tahun dan tidak akan pernah bisa digantikan oleh perkebunan monokultur manapun.