Ototekno

La Rinconada: Kota di Puncak Dunia yang Menantang Kematian!


Penduduk La Rinconada, pemukiman tertinggi di dunia yang terletak di Pegunungan Andes, Peru, menghadapi berbagai tantangan unik yang tak mudah diatasi.

La Rinconada, yang terletak antara ketinggian 4.900 hingga 5.200 meter di atas permukaan laut, adalah pemukiman permanen tertinggi di Bumi. Di seluruh dunia, lebih dari 80 juta orang hidup setidaknya pada ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut, terutama di Amerika Selatan, Asia Tengah, dan Afrika Timur.

Mungkin anda suka

Beberapa pemukiman permanen tertinggi lainnya termasuk Wenquan di provinsi Qinghai, China, dengan ketinggian 4.870 meter di atas permukaan laut, dan Korzok di India, sekitar 4.572 meter di atas permukaan laut. Namun, tidak ada yang lebih tinggi dari La Rinconada. Kota yang dijuluki “Surga Iblis” ini dihuni oleh sekitar 50.000 orang yang hidup antara 5.000 hingga 5.300 meter di atas permukaan laut.

Tantangan Hidup di Ketinggian Ekstrem

Hidup di La Rinconada sangat sulit. Tidak ada air bersih, sistem pembuangan limbah, atau pengelolaan sampah. Makanan harus diimpor dari daerah dengan ketinggian lebih rendah, dan listrik baru tersedia di kota ini pada tahun 2000-an.

Kota ini dikenal dengan penambangan emas, yang dimulai sebagai pemukiman tambang sementara lebih dari 60 tahun yang lalu. Namun, harga emas yang tinggi berarti penduduk harus hidup dalam kondisi ekstrem dengan tekanan oksigen yang hanya setengah dari yang ada di permukaan laut.

Jika Anda tidak lahir di dataran tinggi dan mencoba tinggal di ketinggian seperti La Rinconada, salah satu perubahan pertama yang Anda rasakan adalah peningkatan laju pernapasan dan detak jantung. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya oksigen di udara, sehingga paru-paru dan jantung harus bekerja lebih keras untuk mengalirkan oksigen ke jaringan tubuh.

“Ketika Anda berada pada ketinggian sekitar 4.500 meter, udara yang Anda hirup hanya mengandung sekitar 60% oksigen dibandingkan di permukaan laut, jadi itu sangat membebani tubuh,” kata Cynthia Beall, profesor emerita antropologi di Case Western Reserve University, Ohio, dikutip dari Live Science, Senin (27/5/2024).

Pada awalnya, persentase hemoglobin—protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen—dalam darah juga akan menurun, kata Beall. Semakin tinggi ketinggian, semakin kuat respons tubuh terhadap kekurangan oksigen ini.

Beberapa orang mungkin mengalami kondisi yang disebut penyakit gunung akut (Acute mountain sickness/AMS) saat tubuh mencoba menyesuaikan diri dengan kadar oksigen yang rendah. Gejala yang dapat muncul termasuk sakit kepala, kelelahan, mual, dan kehilangan nafsu makan.

Biasanya, setelah sekitar satu atau dua minggu di ketinggian, detak jantung dan laju pernapasan seseorang akan mulai berkurang sedikit seiring tubuh mulai memproduksi lebih banyak sel darah merah dan hemoglobin untuk mengkompensasi kadar oksigen rendah di udara, kata Beall.

Adaptasi Hidup di Ketinggian

Namun, penduduk dataran tinggi seperti di La Rinconada tampaknya telah beradaptasi dengan lingkungan beroksigen rendah dengan berbagai cara. 

“Ada bukti yang cukup baik dari seluruh dunia bahwa terdapat peningkatan volume paru-paru, terutama pada mereka yang terpapar ketinggian tinggi sebelum masa remaja,” kata Beall.

Penduduk Andes, misalnya, umumnya memiliki konsentrasi hemoglobin yang tinggi dalam darah mereka, yang membuat darah mereka lebih kental. Meskipun ini memungkinkan mereka membawa lebih banyak oksigen dalam darah, hal ini juga membuat mereka rentan terhadap penyakit ketinggian kronis (CMS), yang terjadi ketika tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah merah. 

CMS dapat menyebabkan gejala seperti kelelahan, sesak napas, dan nyeri tubuh. Diperkirakan sekitar satu dari empat orang di La Rinconada menderita CMS.

Pengobatan terbaik untuk CMS adalah turun ke ketinggian yang lebih rendah, kata Tatum Simonson, profesor asosiasi kedokteran di University of California, San Diego Namun, ini bukanlah solusi yang mudah jika seseorang memiliki seluruh mata pencahariannya di daerah tertentu. 

Pengeluaran darah secara teratur dan mengonsumsi obat bernama acetazolamide, yang mengurangi produksi sel darah merah, dapat memberikan sedikit bantuan bagi penderita CMS, meskipun keamanan dan efektivitas pengobatan ini dalam jangka panjang masih belum diketahui.

Di sisi lain, penduduk dataran tinggi Tibet tidak memiliki konsentrasi hemoglobin yang tinggi dan karenanya memiliki risiko rendah untuk mengembangkan CMS. Sebaliknya, mereka diyakini telah beradaptasi dengan lingkungan beroksigen rendah dengan memiliki aliran darah yang lebih tinggi melalui tubuh mereka, kata Beall.

Secara khusus, orang Tibet membawa mutasi pada gen EPAS1 yang menurunkan jumlah hemoglobin dalam darah. Mutasi ini diyakini diwarisi dari kerabat manusia purba yang telah punah, Denisovan. Mutasi dalam EPAS1 juga baru-baru ini ditemukan pada sekelompok penduduk dataran tinggi Andes, yang kini sedang diteliti lebih lanjut oleh para ilmuwan.

Back to top button