Lingkaran Iblis Pinjol-Judol: Ketika Harapan Korban Berakhir di Titik Nol
AF, pria muda 31 tahun, sang kepala keluarga, ditemukan tewas tergantung di dalam rumahnya. Di dekatnya, istrinya, YL, dan anak mereka yang masih batita, AH, tampaknya lebih dulu meregang nyawa. Polisi, yang awalnya menduga bunuh diri massal, menemukan kenyataan yang lebih memilukan. AF, terbebani utang Pinjol tak terbayar dan ketagihan judi online, telah membunuh keluarganya sebelum mengakhiri hidupnya sendiri.
Di awal pekan, Ahad, 15 Desember 2024. saat-saat orang harusnya menjalani hidup dengan asa membuncah, langit di atas Kampung Poncol, Cirendeu, Tangerang Selatan, justru terasa gelap pekat. Di sebuah rumah yang ditinggali keluarga muda, tiga tubuh terbujur kaku, menyisakan pertanyaan yang meresap hingga tulang sumsum: bagaimana bisa sebuah keluarga muda tega mengakhiri hayat dengan kelam, dalam asa yang begitu papa?
AF, pria muda 31 tahun, sang kepala keluarga, ditemukan tewas tergantung di dalam rumahnya. Di dekatnya, istrinya, YL, dan anak mereka yang masih batita, AH, tampaknya lebih dulu meregang nyawa. Polisi, yang awalnya menduga bunuh diri massal, menemukan kenyataan yang lebih memilukan. AF, terbebani utang Pinjol tak terbayar dan ketagihan judi online, telah membunuh keluarganya sebelum mengakhiri hidupnya sendiri. Bukti dari telepon genggam AF memperlihatkan jejak digital yang memberatkan: aplikasi pinjaman online yang terus menagih, situs-situs judi yang menyedot uangnya, dan email terakhir kepada Bank Indonesia nada putus asa.
Tragedi yang Melanda Seluruh Indonesia
Cerita seperti AF bukanlah hal baru. Di Bandung, DP, seorang karyawan swasta, harus menjual rumah peninggalan orang tuanya demi melunasi utang pinjaman online yang terus membengkak. Bermula dari pinjaman kecil untuk kebutuhan sehari-hari, DP terjebak dalam permainan judi online, berharap kemenangan besar akan menyelamatkannya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya: kekalahan demi kekalahan membuat utangnya terus bertambah hingga mencapai Rp250 juta. Ketika pekerjaannya tak lagi mampu menopang beban itu, DP dipecat. Ia kini tinggal di kamar kos kecil, menghindari penagih utang dan tatapan tajam tetangga yang mencibir.
Di Surabaya, NM, seorang mahasiswi 22 tahun, juga menjadi korban lingkaran setan ini. Ia ditemukan tewas bunuh diri di kamar kost-nya. Di sebelah tubuhnya, surat terakhirnya mengungkap penyesalan mendalam atas keputusan meminjam uang dari lebih dari sepuluh aplikasi pinjaman online untuk bermain judi. Surat itu diakhiri dengan permintaan maaf kepada keluarganya. Namun, seperti AF dan DP, langkah NM untuk keluar dari lingkaran iblis itu datang terlambat.
Kasus besar lainnya terjadi di Bekasi, ketika aparat membongkar sindikat judi online dengan transaksi hingga Rp500 miliar. Jaringan ini menggunakan teknologi canggih untuk menjangkau masyarakat kelas menengah ke bawah, menawarkan mimpi cepat kaya yang sebenarnya hanyalah perangkap. Salah seorang pelaku yang tertangkap mengaku bahwa mereka menggunakan algoritma untuk memastikan pemain terus kalah dan kembali meminjam uang demi mencoba keberuntungan mereka.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat ada 2,3 juta warga Indonesia yang terlibat dalam perjudian online. Dari jumlah tersebut, sekitar 2 persen atau 80.000 adalah pemain berusia 10 tahun. Kelompok usia 10-20 tahun mencapai 11 persen atau sekitar 440.000 orang, usia 21-30 tahun sebanyak 13 persen atau 520.000 orang, dan usia 30-50 tahun mendominasi dengan 1,64 juta orang. Bahkan kelompok usia di atas 50 tahun tercatat mencapai 1,35 juta pemain. Fakta yang menunjukkan bahwa judi online menyasar berbagai kelompok usia, tanpa pandang bulu.
Jaringan ini tak hanya menawarkan iming-iming keuntungan cepat tetapi juga memanfaatkan kelemahan psikologis korbannya. Menurut Bagus Riyono, psikolog dari Universitas Gadjah Mada, dinamika judi online mirip dengan pinjaman online. “Keduanya menawarkan kemudahan mendapatkan uang, namun kenyataannya justru menjerat dan membuat sengsara. Dampaknya sangat masif, terutama karena permainan ini bisa diakses oleh semua orang tanpa perlu usaha banyak,” kata Bagus.
Kecanduan yang ada tidak hanya menyasar urusan materi, juga mental. Menurut Novi Poespita Candra, psikolog lain dari UGM, judi online berdampak signifikan pada kesehatan mental. “Kecanduan judi menciptakan ilusi kemenangan cepat yang justru mempercepat keruntuhan seseorang. Ketika kekalahan terjadi, individu cenderung mengambil risiko lebih besar untuk menutup kerugian, hingga akhirnya terjerat utang yang tidak bisa dikendalikan,” ujar Novi.
Apa Kabar Pemerintah?
Untunglah, setidaknya Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan komitmennya untuk memberantas judi online. “Ini adalah ancaman serius bagi masa depan bangsa. Pemerintah akan mengambil tindakan tegas terhadap semua pihak yang terlibat, termasuk oknum yang melindungi aktivitas ini,” katanya dalam pidato akhir tahun lalu. Namun, upaya nyata untuk merealisasikan janji itu masih harus terus kita pertanyakan.
Kominfo, misalnya, mengklaim telah memblokir ribuan situs judi online. Namun, efektivitas langkah ini diragukan karena situs baru terus bermunculan seperti jamur di musim hujan. Sementara itu, Polri mendaku telah menangkap lebih dari 500 pelaku sepanjang 2024. Namun ternyata, kebanyakan dari mereka hanyalah operator kecil. Para dalang besar di balik jaringan ini tetap tak tersentuh.
Jika tidak ada langkah nyata, ancaman ini hanya akan semakin mengerikan. Teknologi blockchain dan aplikasi anonim kini mulai digunakan untuk mengaburkan jejak transaksi, membuat pelacakan semakin sulit. Apakah pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat mampu memutus lingkaran setan ini?
Langkah pertama yang mendesak adalah penegakan hukum yang tegas dan transparan. Hukuman berat harus diberikan kepada operator besar dan oknum aparat yang melindungi mereka. Karena ini jaringan iblis, maka sebaiknya mereka yang terlibat pun dipandang laiknya setan. Selain itu, regulasi terhadap pinjaman online harus diperketat agar tidak ada celah bagi aplikasi-aplikasi nakal untuk beroperasi di luar aturan.
Edukasi dan literasi keuangan juga menjadi kunci. Menurut Novi, “Orang harus diajarkan sejak dini tentang bahaya pinjol dan judi online. Literasi keuangan sangat penting agar mereka tahu bagaimana mengelola uang dengan bijak.” Sementara itu, Bagus menekankan perlunya kampanye masif yang melibatkan sekolah, tempat kerja, hingga komunitas lokal untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Jika pemerintah tidak segera bertindak, lingkaran iblis pinjol dan judol ini akan menjadi pandemi sosial yang tak terkendali. Tragedi yang terjadi di Cirendeu hanya akan menjadi satu dari sekian banyak kisah pilu yang terpendam dalam statistik—dan dalam hati kita semua. []