Kanal

Makan Bergizi Gratis dan Persoalan yang tak Selesai


Makan bergizi gratis, program andalan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, telah direalisasikan. Program ini dirilis pada 6 Januari 2025. Sebanyak tiga juta anak-anak dan ibu hamil ditargetkan mendapat manfaat pada tahap perdana. Selanjutnya, secara bertahap program ini dapat mencapai 17 juta orang pada Agustus 2025.

Selain jadwal, pemerintah juga telah menetapkan biaya makan bergizi gratis. Biaya yang ditetapkan pemerintah adalah sebesar Rp10.000,- per porsi. Besaran tersebut berkurang dari rencana awal sebesar Rp15.000,- per porsi. Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan pengurangan dilakukan karena kemampuan fiskal yang terbatas. Pengurangan anggaran tersebut membuat anggaran makan bergizi gratis diperkirakan menjadi sekitar Rp51,53 triliun.

Harga Rp10.000,- per porsi tidak dapat disimpulkan terlalu besar ataupun terlalu kecil karena setiap wilayah di Indonesia memiliki harga bahan baku pangan yang bervariasi. Nilai ketetapan pemerintah tersebut jelas kurang jika merujuk pada harga pangan di kota besar. Akan tetapi, nominal tersebut kemungkinan dapat mencukupi di daerah yang lain. Toto Sudargo menyatakan bahwa anggaran tersebut dapat mencukupi jika dikelola dengan efektif.

Tulisan ini mencoba menggarisbawahi berbagai persoalan dalam implementasi makan bergizi gratis. Setelah penetapan biaya, penting untuk memastikan alokasi tersebut tiba kepada penerima dengan utuh. Pemotongan anggaran kemungkinan akan berdampak pada penurunan kualitas bahan baku dan pengurangan porsi makanan. Jika demikian, program makan bergizi gratis hanyalah program ‘yang penting makan’ tanpa peduli kandungan ‘bergizi’-nya.

Mencukupkan Gizi: Ada Harga Ada Kualitas

Idealnya, menu makan siang harus memenuhi sepertiga dari total kebutuhan kalori harian. Kebutuhan kalori tersebut berkisar antara 600-700 kalori. Sejumlah kalori tersebut dapat diperoleh dalam tiga centong nasi (150 gr) atau tiga buah kentang ukuran sedang (300 gr), 2 potong ayam, dua potong tempe, 150 gr sayuran matang, dan satu buah pisang ukuran sedang atau dua buah jeruk (Kemenkes RI).

Sejumlah pelajar menikmati makanan bergizi gratis di SMP Negeri 13 Surabaya, Jawa Timur, Senin (13/1/2025). (Foto: Antara)
Sejumlah pelajar menikmati makanan bergizi gratis di SMP Negeri 13 Surabaya, Jawa Timur, Senin (13/1/2025). (Foto: Antara)

Sementara itu, hasil penelusuran BBC di berbagai daerah menunjukkan variatifnya harga makanan di Indonesia. Mereka menemukan bahwa harga Rp10.000,- menghasilkan menu yang beragam sesuai daerahnya. Harga tersebut dapat mencukupi di sebagian daerah tetapi kurang di daerah lainnya (BBC, 6/12/24). Namun secara umum, harga tersebut minimalis karena hanya mencakup biaya makanan.

Baca Juga:  Chico Aura Lalui Hadangan Pertama Thailand Masters 2025

Pelaksanaan makan bergizi juga perlu mempertimbangkan biaya pengadaan wadah, jasa, serta distribusi. Jika harga Rp10.000,- mencakup tiga komponen tersebut, sudah pasti memengaruhi jenis makanan. Hal itu jelas akan mengurangi kandungan gizi makanan yang telah ditetapkan. Meskipun di berbagai daerah ada makanan dengan harga murah, kualitas gizi bisa berkurang jika biaya terbatas.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa letak geografis Indonesia memiliki tingkat kesulitan akses yang bervariasi. Hal ini dapat memperburuk tantangan daerah dalam mengakses makanan bergizi. Beberapa daerah dapat terhambat memperoleh makanan bergizi dengan harga terjangkau. Minimnya biaya menimbulkan kekhawatiran akan keseriusan pemerintah dalam upaya pemenuhan gizi masyarakat.

Alokasi Anggaran yang Tepat, Kompetensi Penyedia, dan Skala Prioritas

Pelaksanaan makan bergizi gratis perlu mendapat perhatian serius dalam beberapa aspek agar tujuan tercapai. Salah satunya adalah kepastian alokasi anggaran tiba pada sasaran utuh tanpa pemotongan. Hal itu penting untuk memastikan standar gizi yang ditetapkan pemerintah dapat terpenuhi. Seringkali dana yang dianggarkan untuk perlindungan sosial tidak diterima dengan utuh oleh penerimanya. Jika pemotongan anggaran terjadi, maka upaya pemerintah memperbaiki gizi masyarakat akan sulit tercapai.

Penyedia yang akan terlibat dalam program makan bergizi gratis juga harus kompeten. Program ini akan melibatkan banyak penyedia dengan kompetensi yang berbeda-beda. Para penyedia harus mampu menerjemahkan gagasan pemerintah dalam upaya memenuhi gizi masyarakat. Utamanya, kompetensi tersebut penting dalam hal pemilihan bahan baku, pengolahan, hingga distribusi makanan. Untuk itu, perlu sosialisasi dan edukasi kepada penyedia sebelum eksekusi program.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali (kanan) menunjukkan menu ayam goreng saat meninjau dapur makan bergizi gratis (MBG) di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal), Cipulir, Jakarta, Selasa (14/1/2025). (Foto: Antara)
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali (kanan) menunjukkan menu ayam goreng saat meninjau dapur makan bergizi gratis (MBG) di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal), Cipulir, Jakarta, Selasa (14/1/2025). (Foto: Antara)

Penyedia makan bergizi harus bekerja profesional memastikan gizi dan keamanan pangan. Mereka harus mampu menyediakan bahan baku yang segar dan aman konsumsi. Aspek kebersihan makanan juga harus dijaga secara ketat saat proses pengolahan. Distribusi makanan pun harus dijalankan tepat waktu untuk memastikan tiba pada sasaran dengan layak konsumsi. Penyedia harus mempertimbangkan faktor geografis maupun sosial masyarakat.

Baca Juga:  Memanfaatkan Peluang Ekonomi Kepemimpinan Trump

Satu hal yang paling penting adalah pelaksanaan makan bergizi perlu menetapkan skala prioritas. Pemerintah harus memastikan program tepat sasaran bahkan sejak tahap awal. Pelaksanaan program juga harus terhindar dari berbagai kepentingan, termasuk upaya personalisasi. Pemerintah harus memastikan bahwa sasaran utama dari makan bergizi gratis adalah yang paling membutuhkan. Untuk itu diperlukan kriteria yang ketat dalam penentuan sasaran prioritas.

Tantangan Kebiasaan Makan: Porsi, Preferensi, dan Mitos

Bagi sebagian masyarakat yang berada dalam kemiskinan, makan adalah kenyang. Kesulitan memenuhi kebutuhan pangan membuat mereka tidak fokus pada ragam dan gizi makanan. Tujuan satu-satunya adalah perut terisi penuh, sehingga kebiasaan makan mereka pun cenderung dalam porsi besar dan seragam. Hal ini dapat menjadi tantangan bagi pemerintah jika tidak mampu menyediakan porsi yang memadai. Perlu dipikirkan cara membuat porsi memadai dan gizi seimbang dengan anggaran minimalis.

Preferensi makanan juga menjadi tantangan yang sulit dalam pelaksanaan makan bergizi. Setiap daerah memiliki warna rasa yang berbeda. Ada baiknya makan bergizi turut disesuaikan dengan selera masing-masing daerah. Hal ini untuk memastikan program tersebut diterima secara luas. Namun, minimnya alokasi anggaran yang diberikan pemerintah tampaknya hanya memberikan pilihan yang terbatas.

Kepercayaan masyarakat pada mitos tentang makanan juga menjadi tantangan makan bergizi. Sebagian masyarakat kita percaya pada makanan tertentu dapat membawa pengaruh tertentu pada kesehatan. Pengaruh tersebut bisa negatif dan bisa juga positif. Uniknya, kepercayaan itu tidak berlandaskan pada hal-hal yang rasional. Kepercayaan pada mitos tersebut dapat berdampak pada penerimaan ataupun penolakan makan bergizi gratis.

Dampak Lingkungan Pelaksanaan Makan Bergizi Gratis

Satu hal yang juga mengkhawatirkan dari program makan bergizi adalah risiko lingkungan. Dapat dipastikan, program ini akan menghasilkan limbah makanan yang tidak sedikit. Selain itu, program ini juga akan memproduksi plastik dalam jumlah besar. Dalam beberapa uji coba yang dilakukan pemerintah, hampir semua menggunakan wadah plastik.

Pemanfaatan plastik dan Styrofoam sebagai wadah makanan memang lebih praktis. Akan tetapi, penggunaan plastik jelas tidak ramah lingkungan. Jika dalam sehari program ini menyasar 17 juta orang, dapat kita bayangkan jumlah plastik diproduksi setiap hari. Penggunaan wadah plastik perlu dipertimbangkan kembali, mengingat dampak buruknya terhadap lingkungan.

Baca Juga:  Kado 100 Hari Kabinet Prabowo: Kisruh MBG dan Tantangan Perombakan Internal

Tantangan lain adalah naiknya permintaan atas bahan baku makanan. Kenaikan itu akan mendorong petani meningkatkan hasil produksinya. Upaya peningkatan produksi oleh petani dilakukan dengan menambah input pertanian. Hal ini dapat memicu terjadinya degradasi lahan pertanian. Cara lain petani adalah dengan melakukan ekspansi lahan baik lahan kosong maupun lahan hutan. Upaya ekspansi dapat memicu kerusakan lingkungan yang lebih besar di masa mendatang.

Pemerintah perlu merancang kebijakan yang lebih berkelanjutan, tidak hanya dalam hal peningkatan produksi pangan, tetapi juga dalam pengelolaan sampah dan upaya pelestarian lingkungan untuk mendukung kelangsungan program jangka panjang.

Momentum Mendorong Masyarakat Sadar Gizi

Makan bergizi gratis harus mampu meningkatkan pengetahuan gizi masyarakat. Program ini diharapkan jadi momentum mendorong masyarakat lebih sadar gizi. Masyarakat perlu dididik untuk dapat memperoleh, memilih, mengolah, dan menyajikan makanan sehat dan bergizi. Sehingga, ketika masyarakat mampu secara ekonomi, mereka paham jenis makanan yang mesti dikonsumsi.

Tingginya angka kemiskinan memang menjadi faktor dominan penyebab kekurangan gizi pada anak-anak. Kemiskinan menyebabkan daya beli masyarakat akan makanan bergizi terbatas. Masyarakat kalangan bawah lebih memikirkan cara mendapat makanan dan kenyang daripada kandungan gizi pada makanan. Sementara, kekurangan gizi pada anak sekolah akan mempengaruhi kemampuan berkonsentrasi pada saat proses belajar.

Namun demikian, tidak sedikit masyarakat yang mampu mengalami kekurangan gizi. Alasannya adalah tidak cukup pengetahuan tentang makanan bergizi. Selain tidak dapat memilih, mengolah, dan menyajikan makanan secara tepat, mereka juga cenderung lebih mengedepankan selera daripada kandungan gizi pada makanan. Kita juga tidak boleh abai pada masyarakat yang mempercayai mitos soal makanan.

Program makan bergizi gratis harus dapat mendorong masyarakat memenuhi gizi secara mandiri. Sehingga ke depannya, masyarakat tidak memerlukan intervensi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan gizinya.

Back to top button