News

Megaskandal Rp349 Triliun, LSAK: Jangan Hanya Ramai Jadi Panggung Politisi

Pakar mewanti-wanti agar terkuaknya megaskandal dugaan korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan tidak hanya ramai menjadi panggung politisi tanpa substansi.

Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) Ahmad Hariri mengkritisi Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III yang dihadiri oleh Mahfud MD dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, Rabu (29/3/2023). RDP dengan durasi panjang yang menyita seluruh perhatian publik itu dinilai belum menyelesaikan apapun, baik pokok maupun detail perkaranya.

“Tujuan terpenting dalam penyelesaian TPPU ialah upaya mengembalikan segala kerugian negara kembali lagi pada negara. Jangan sampai duit Rp349 triliun hanya ramai jadi panggung para politisi tanpa ada hal konkrit yang dilakukan,” katanya kepada Inilah.com di Jakarta, Kamis (30/3/2023).

Baca Juga:  Mendikdasmen Abdul Mu’ti: UN dan PPDB Zonasi dalam Kajian Ulang, Awal Tahun Diputuskan

Salah satunya, Hariri menyoroti soal paparan aliran dana gelap Rp349 triliun yang diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berbeda versi dengan paparan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.

Salah satu perbedaan tersebut mencuat setelah Sri Mulyani di Komisi XI DPR menjelaskan hanya ada Rp3,3 triliun transaksi mencurigakan yang berkaitan langsung dengan oknum pegawai Kemenkeu. Sementara data yang didapat PPATK dan dijelaskan Mahfud di Komisi III DPR ada Rp35,3 triliun transaksi janggal tersebut.

Ia menegaskan, kasus ini harus dijelaskan lebih lanjut karena dapat memancing kecurigaan tentang bagaimana perkara ini diproses secara hukum. “Jangan sampai ada pengaburan dan upaya melokalisir pada kasus tertentu saja,” timpal Hariri.

Baca Juga:  Nilai Transaksi Penyelundupan Barang Capai Rp216 Triliun, Celios Singgung Dosa Jokowi

Hariri sendiri menduga transaksi janggal dengan nilai bombastis ini merupakan indikasi dari TPPU dan menunjukan ketidaktelitian pada pengelolaan dana APBN.

“Semua perkara di TPPU itu harus diproses secara hukum baik oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kejaksaan, maupun Kepolisian. Namun, transaksi ratusan triliun yang terdeteksi PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) selama bertahun-tahun itu juga menunjukkan bobroknya tata pengelolaan APBN,” jelas dia.

Lebih jauh ia menyodorkan solusi untuk Komisi III DPR untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) dan Hak Angket yang masih belum resmi dapat terlaksana. “Kita perlu lihat ke depan, karena ada beda pengertian dan cara kerja Pansus dan Hak angket,” ujarnya.

Baca Juga:  Pengakuan Petugas Rutan KPK Jadi Pengepul Duit Pungli Tahanan, Iming-iming Gaji Dobel hingga Profiling Keluarga

Pansus adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tidak tetap yang dibentuk berdasarkan kebutuhan guna membahas masalah-masalah tertentu yang berkembang di masyarakat atau timbulnya kondisi darurat yang perlu mendapat perhatian pemerintah.

Sementara hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan pemerintah. Hak angket akan digunakan untuk menyelidiki dan mencari bukti-bukti jika benar-benar ada pelanggaran perundang-undangan.

Secara institusi Hariri mengakui masih percaya DPR dengan tugas dan fungsinya sebagai check and balances. “Akan tetapi, publik harus tetap mengawasi agar tidak terjadi penyimpangan dalam prosesnya,” imbuh Hariri.

Back to top button