Kanal

Mengapa Ulama Berdakwah Satu Tahun?


Suasana hening menyelimuti Masjid Kebon Jeruk, Jakarta, selepas salat witir. Dalam keheningan itu, sebuah pertanyaan mendalam muncul di benak “Bapak”.

Ketika menerima undangan untuk menghadiri Walimatus Safar, hati “Bapak” berdebar-debar, mirip dengan perasaan saat menunggu kelahiran anak pertama. Pikiran berkecamuk, kaki tak bisa diam, mondar-mandir dari dapur ke sumur hingga ke kasur. Sebuah pertanyaan besar menghantui: Apa benar?

Pengalaman berdakwah selama empat bulan terasa begitu berat. Di sana sudah terjadi “perang” dari berbagai sisi. Ada yang menuduh bid’ah, mengatakan tidak ada dalil, bahkan menyebutnya tindakan yang tidak diperintahkan agama. Ada juga yang menuduh meninggalkan anak-istri adalah bentuk kedzaliman, atau sekadar jalan-jalan tanpa tujuan. Tuduhan terus bertebaran.

Itulah yang ada di benak “Bapak”, sebagaimana anggapan masyarakat pada umumnya. “Bapak” adalah simbol sosok yang selalu dianggap tahu segalanya dan paling dipercaya pendapat serta perintahnya.

Jawaban yang Terungkap

Saat itu, pertanyaan besar “Bapak” tiba-tiba terjawab. Dalam acara Walimatus Safar yang diadakan teman-teman dari halaqah Pondok Melati, Bekasi Kota, “Bapak” menyaksikan betapa gembiranya mereka dengan keberangkatan ulama-ulama yang akan berdakwah selama satu tahun. Mereka berkhidmat memuliakan para ulama dan memberangkatkan mereka dengan doa bersama.

Baca Juga:  Daftar Model iPhone yang Dapat Pembaruan iOS 18

Dalam sebuah muzakarah, seorang ustaz pernah bertanya kepada masyaikh—ulama besar dari Pakistan—mengapa ulama perlu keluar selama satu tahun, terutama ulama-ulama kondang. Ulama-ulama ini seringkali memiliki madrasah atau pondok pesantren, menjadi muballigh terkemuka, hingga mendapat julukan “muballigh sejuta umat” atau “muballigh sejuta rupiah”.

Keluar selama satu tahun adalah untuk menyebarkan ilmu mereka, bukan hanya untuk murid-murid madrasah atau peserta majelis taklim, tetapi untuk seluruh umat manusia yang jumlahnya mencapai miliaran. Mayoritas dari mereka bahkan belum mengucapkan kalimah toyyibah. Itulah yang merisaukan ulama-ulama dakwah.

Menghindari Bahaya Kemasyhuran

Di sisi lain, tujuan keluar berdakwah ini adalah untuk melepaskan keterikatan dari simbol-simbol kebesaran seperti madrasah, pesantren, atau kemasyhuran pribadi. Yang terpenting, untuk “menguburkan” rasa masyhur, karena kemasyhuran bisa membuat seseorang lupa diri dan menjadi sombong. Nabi Muhammad SAW sendiri lebih khawatir umatnya terkena fitnah ulama su’, ulama yang terjebak pada godaan harta, tahta, dan wanita.

Baca Juga:  Hebat! Bank Mandiri Pimpin Pasar Pembiayaan Hijau di Indonesia di Juni 2024

Selain itu, jika ulama berdakwah bersama orang awam, mereka akan menjadi pembimbing selama perjalanan, merasakan napak tilas Nabi Muhammad SAW yang berdakwah di Mekah selama 13 tahun dan di Madinah selama 10 tahun. Nabi SAW sendiri pernah dituduh gila, tukang sihir, dan akhirnya diusir, puncaknya adalah hijrah ke Madinah.

Madrasah Berjalan

Ketika ulama bergabung dengan masyarakat awam dalam perjalanan dakwah, mereka menciptakan “madrasah berjalan”. Mereka dapat merasakan perjuangan seperti yang dialami Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. 

Dari kampung ke kampung, kota ke kota, bahkan dari negara ke negara, mereka berhadapan dengan kesulitan, termasuk diusir dari masjid, dituduh sesat, atau dianggap melakukan bid’ah.

Mengapa Alumni Madrasah Keluar Berdakwah?

Jemaah dakwah ideal terdiri dari seorang hafidz atau alim, orang-orang yang sudah memiliki pengalaman dakwah internasional, dan mereka yang pandai berbahasa asing. Namun, untuk mencapai komposisi ideal tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, para alumni madrasah atau pesantren, bahkan yang baru lulus, juga diajak untuk berdakwah selama satu tahun.

Baca Juga:  Aksi Bersama untuk SDGs: Kolaborasi Perusahaan dan Masyarakat

Tujuannya adalah agar ilmu mereka lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. Berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai latar belakang memungkinkan terjadinya pertukaran ilmu dan pengalaman, termasuk dengan ustaz-ustaz yang belum tersentuh dakwah. Hal ini menciptakan kesempatan bagi mereka untuk terlibat dalam usaha dakwah yang lebih luas.

Tiga Kali Keluar Berdakwah

Tertib ulama saat ini diatur sedemikian rupa. Tahun pertama mereka berdakwah ke India, Pakistan, atau Bangladesh untuk mempelajari manhaj dakwah. Setelah beberapa tahun, mereka kembali keluar ke negara-negara Arab, lalu Eropa, Amerika, atau Afrika. Tujuannya adalah agar mereka menjadi ulama pewaris Nabi yang hakiki, pengemban dakwah dengan orientasi ilmu dan keimanan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Maulana Ilyas Rahimahullah, ulama adalah pewaris para Nabi, bukan pewaris harta benda atau kedudukan. Seorang ulama sejati adalah pengembara, tidak boleh hanya “betah” di wilayahnya sendiri.

Al Faqeer Abdurrahman Lubis, Pemerhati Keislaman

Back to top button