Market

Pengusaha Ketar-ketir Banyak Usaha Bangkrut dan PHK Jika Prabowo Nekat Kerek PPN 12 Persen


Kuartal I-2024, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat, sedikitnya 2.650 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemicunya, permintaan turun dan biaya tinggi. Bisa jadi dampak PPN 11 persen yang melemahkan daya beli.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani mengatakan, industri padat karya seperti garmen dan alas kaki yang paling kena imbasnya. Tak heran, banyak industri garmen dan alas kaki, mengurangi produksi.

Paling apes ya harus gulung tikar. Seperti dialami PT Sepatu Bata Tbk yang terpaksa menutup pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat, per 30 April 2024.

“Untuk industri yang orientasi ekspor. saat ini masih terdampak permintaan global yang turun, akibat situasi geopolitik. Sehingga berimbas PHK. Sedangkan industri padat karya seperti garmen dan alas kaki, harus bersaing dengan produk impor ilegal,” paparnya.

Bisa jadi Shinta benar. Yang jelas, masyarakat Indonesia saat ini, sedang memasang ikat pinggangnya kencang-kencang. Selain itu, dompetnya dijahit rapat agar tidak boros. Ketimbang belanja barang sekunder, lebih baik memenuhi kebutuhan pangan yang harganya naik tinggi.

Apalagi tak ada tambahan pendapatan dari masyarakat yang memicu pelemahan daya beli. Alhasil, produk garmen dan alas kaki luput dari daftar belanja konsumen di Indonesia.

Pelemahan daya beli atau konsumsi ini, merupakan dampak dari kebijakan mengerek naik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen per 1 April 2022.

Tahun depan, tepatnya 1 Januari 2025, pemerintahan Prabowo-Gibran kembali mengerek naik PPN menjadi 12 persen.

Kalau betul Prabowo-Gibran menerapkan PPN 12 persen pada 2025, bisa menjadi ‘kiamat’ bagi industri nasional. Karena, pengusaha sangat takut dengan melemahnya daya beli yang menjadi konsekuensi dari naiknya PPN 12 persen.

“Nanti mereka (Prabowo-Gibran) bisa mengevaluasi kembali gitu, melihat kondisi yang ada saat ini. Apakah memang tepat waktunya untuk dinaikkan? Begitu,” kata Shinta.

Di sisi lain, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah menyebut, penerapan tarif PPN 11 persen di Indonesia, kedua tertinggi untuk kawasan ASEAN.

“Filipina yang tertinggi di ASEAN sebesar 12 persen, Indonesia 11 persen. Kalau Malaysia, Kamboja dan Vietnam masing-masing 10 persen. Lebih rendah lagi Singapura, Laos, dan Thailand sebesar 7 persen. Kalau tahun depan naik 12 persen, masuk yang tertinggi,” kata Said. 

Said mewanti-wanti pemerintah untuk mencermati daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Sepanjang kuartal I-2024, konsumsi hanya 4,9 persen menyokong pertumbuhan ekonomi 5,11 persen.

Padahal ada beberapa momentum yang mendorong naiknya konsumsi yakni peringatan Imlek, Pemilu 2024, puasa, lebaran dan mudik. Seharusnya konsumsi bisa di atas 5 persen.

“Saya meminta pemerintah membuat kajian komprehensif atas rencana kenaikan PPN pada 2025 sebesar 12 persen. Jadi bukan semata mata untuk menaikkan pendapatan negara,” ungkapnya.

Saat ini, bolanya berada di tangan Prabowo-Gibran. Apakah mengikuti Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pasal 7 ayat 1 memerintahkan kenaikan PPN menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. Tapi konsekuensinya daya beli melemah, ekonomi turun, industri semakin megap-megap. 

Back to top button