Market

Produksi Anjlok Terus, Indonesia Bisa Turun Kelas Jadi Importir Kelapa Sawit


Jangan bangga dulu, Indonesia memang menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Sayangnya, produktivitasnya terus menurun. Bisa jadi, Indonesia turun kelas dari eksportir menjadi importir sawit.

Untuk itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Sekjen Gapki), M Hadi Sugeng Wahyudiono, mengatakan, perlunya dukungan dari pemerintah, serta seluruh stake holder untuk membenahi turunya produktivitas tanaman sawit.  “Perlu kepastian hukum dan pengambil kebijakan perlu menghindari peraturan yang cepat berubah serta tumpang tindih,” kata Hadi Sugeng di Jakarta, dikutip Kamis (20/6/2024).

Persoalan ini, kata dia, dinilai masih menjadi tantangan dan memerlukan perhatian serius. Seharusnya, menurut Hadi, perusahaan-perusahaan yang sudah berjalan dan dilengkapi perijinan serta memiliki hak atas tanah yang dikeluarkan pemerintah dapat memfokuskan diri pada produksi dan peningkatan produktivitas.

Menyongsong Indonesia Emas 2045, menurut Hadi Sugeng, kebutuhan minyak sawit untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor akan terus meningkat. Peningkatan ini harus diiringi dengan produksi dan produktivitas.

“Dari proyeksi Kemenko Perekonomian yang dikutip Gapki, produksi minyak sawit menyongsong Indonesia Emas 2045 mencapai 92,44 juta ton,” lanjut Hadi.

Angka ini, kata dia,  lebih besar hampir dua kali lipat dari produksi 2024 yang mencapai 59,78 juta ton. Sayangnya, produksi dan peningkatan produktivitas sawit masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.

“Dari sisi yield, turun sejak 2010,” katanya. Situasi ini terjadi karena komposisi umur sebanyak 40 persen termasuk tanaman tua, yang luasnya mencapai 6,57 juta hektare.

Volume ekspor cenderung menurun juga terjadi karena pertumbuhan ekonomi negara pengimpor yang kurang baik dan pasokan minyak nabati lain juga meningkat.

Di sisi lain, menurut Hadi, peningkatan produksi harus semakin diperhatikan mengingat rencana pemerintah baru untuk meningkatkan penggunaan minyak sawit sebagai energi melalui program biodiesel.

Ada indikasi bauran minyak sawit akan mencapai 50 persen. Rencana ini pasti akan meningkatkan konsumsi domestik.

“Berdasarkan hasil analisa, apabila supply dalam negeri stagnan dan demand terus bertumbuh dan volume ekspor dipertahankan di atas 30 juta ton per tahun, dalam kurun 5 tahun ke depan akan terjadi kekurangan pasokan untuk memenuhi demand baik dalam maupun luar negeri,” ujar Hadi Sugeng yang menjabat Chief Agronomy dan Sustainability Astra Agro itu.

Sejauh ini, menurut Hadi Sugeng, dunia usaha dan pemerintah menjadikan program peremajaan sawit rakyat (PSR) sebagai solusi. Perlu terobosan lebih jauh. Dengan bibit yang lebih baik dan bantuan dana dari pemerintah, program tersebut diharapkan bisa meningkatkan produktivitas industri sawit.

Terkait dengan tumpang tindih kebijakan, Hadi mengingatkan kembali perlunya Indonesia memiliki lembaga atau badan khusus yang menangani industri kelapa sawit. Badan ini harus terintegrasi dari hulu sampai hilir. Dengan demikian, tidak akan ada lagi tumpang tindih pengaturan, kebijakan maupun implementasi di lapangan.

Sejumlah langkah ini sangat perlu dilakukan. Menurut Hadi Sugeng, banyak yang bisa dikontribusikan industri sawit dalam menyonsong Indonesia Emas 2045. “Industri sawit nasional perlu terus kita kawal bersama,” ujar Hadi Sugeng.

Back to top button