Segera, Merger XL Axiata – Smartfren
Merger atau penggabungan dua operator telko di Tanah Air, XL Axiata dan Smartfren Telecom, tampaknya sudah masuk tahap serius dan mendekati final, yang diperkirakan tuntas pada akhir 2024. Berbagai informasi menyebutkan, kesepakatan merger ini memunculkan transaksi sebesar 3,5 miliar dolar AS, atau sekitar Rp53,9 triliun (kurs Rp 15.400/dolar AS).
Merger tersebut akan membentuk entitas baru, MergerCo, dan masing-masing pihak mengincar posisi sebagai pemegang saham pengendali. XL Axiata, dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp 33,71 triliun, berpeluang menjadi pemegang saham pengendali dibandingkan Kelompok Sinar Mas sebagai pemilik Smartfren.
Kapitalisasi pasar Smartfren yang dilaporkan sebesar Rp21,15 triliun memaksa mereka melakukan top up dalam jumlah lebih besar untuk bisa sejajar, terutama jika Sinar Mas ingin menjadi pemegang saham pengendali seperti yang terjadi ketika Indosat merger dengan Hutchison Tri Indonesia pada 2022.
Pemegang saham mayoritas XL Axiata (65%) adalah Axiata Group Berhad, sementara sisanya dimiliki publik dan beberapa entitas lainnya. Smartfren dimiliki oleh anak-anak Sinar Mas, yaitu PT Wahana Inti Nusantara (WIN), PT Global Nusa Data (GND), PT Bali Media Telekomunikasi (BMT), dan publik.
Jika yang dipertaruhkan adalah modal, Kelompok Sinar Mas diyakini akan mampu mengatasi tantangan ini, mengingat kekayaan kelompok tersebut yang konon jika ditumpuk masih lebih tinggi dibanding Gunung Semeru di Jawa Timur atau bahkan Gunung Fuji di Jepang.
Di sisi lain, Kelompok Axiata tidak akan mundur dari posisi pemegang saham pengendali. Apalagi, secara pendapatan, kepemilikan infrastruktur, jumlah pelanggan, dan pangsa pasar, XL Axiata jauh lebih unggul dibandingkan Smartfren.
Pengalaman di industri menunjukkan bahwa merger dapat membawa perbaikan, efisiensi infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM), penghematan biaya modal, serta peningkatan pengalaman pelanggan. Keuntungan ini berpotensi meningkatkan pendapatan bagi entitas baru.
Pengalaman IOH
Dalam proses merger Indosat dan Tri yang melahirkan IOH (Indosat Ooredoo Hutchison), kedua perusahaan memiliki saham gabungan sebesar 65,64%. Selain itu, ada pemodal baru, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia, dengan kepemilikan sebesar 10,77%, serta 9,63% milik Negara Indonesia melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), dan sisanya publik.
Merger ini menyebabkan modal IOH meningkat tiga kali lipat, dari Rp 10,3 triliun menjadi Rp 31,61 triliun. Sementara itu, asetnya naik dua kali lipat dari Rp 63,97 triliun pada 2021 menjadi Rp 113,88 triliun pada 2022, saat proses merger tuntas. Modal kedua perusahaan yang digabung mencapai Rp 42,17 triliun.
Dengan pendapatan Rp 51,22 triliun, laba IOH pada 2023—setahun setelah merger pada Januari 2022—mencapai Rp 4,5 triliun, angka yang belum pernah dicapai kedua entitas, bahkan jika digabung sekalipun. Pada semester pertama 2024, laba bersih mereka mencapai Rp 2,73 triliun, naik 43,3% dibandingkan periode yang sama pada 2023, yang sebesar Rp 1,908 triliun.
Sementara itu, pendapatan Smartfren pada 2023 tercatat sebesar Rp 11,6 triliun, dengan rugi bersih Rp 108,9 miliar. Pada semester pertama 2024, pendapatan mereka mencapai Rp 5,572 triliun, dengan rugi bersih Rp 473,8 miliar.
Dari sisi pendapatan, pada 2023 XL Axiata meraih Rp 32,3 triliun, dengan laba Rp 1,27 triliun. Pada semester satu 2024, pendapatannya mencapai Rp 17,05 triliun, naik dari Rp 15,76 triliun pada periode yang sama (YoY—year on year) pada 2023, dengan laba sebesar Rp 1,02 triliun, naik 57,52% YoY.
Secara infrastruktur, XL Axiata memiliki 163.884 unit BTS (base transceiver station) yang mendukung kegiatan 58,7 juta pelanggan. Pelanggan Smartfren sekitar 35,5 juta, dengan 45.000 unit BTS.
Merger akan membuat BTS mereka mencapai sekitar 210.000 unit, dengan jumlah pelanggan lebih dari 93 juta. Mengacu pada merger IOH, setelah merger akan terjadi penataan ulang posisi BTS keduanya yang berdekatan, untuk digunakan memperluas jangkauan atau cakupan layanan MergerCo.
“Golden Shake Hand”
Perluasan cakupan membuka kemungkinan penambahan jumlah pelanggan, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan laba serta memberi kesempatan untuk menambah biaya modal.
Keuntungan lain dari merger adalah penambahan lebar spektrum frekuensi, meskipun kemungkinan akan ada pemotongan sekitar 10 MHz oleh pemerintah untuk dilelang. Saat ini, XL Axiata memiliki frekuensi sebesar 45 MHz X 2, atau 90 MHz pada teknologi FDD (frequency division duplex). Teknologi ini membutuhkan frekuensi berbeda yang berpasangan untuk unduh dan unggah.
Sementara itu, Smartfren memiliki 62 MHz. Di rentang 850 MHz ada 2X11 MHz di FDD dan 40 MHz di rentang 2,3 GHz yang menggunakan teknologi TDD (time division duplex). TDD menggunakan frekuensi yang sama untuk unduh dan unggah, hanya dibedakan oleh waktu. Jika digabung, MergerCo akan memiliki lebar spektrum frekuensi 152 MHz dengan jumlah pelanggan 93 juta.
Sebagai perbandingan, Telkomsel dengan 156 juta pelanggan memiliki spektrum frekuensi sebesar 195 MHz, yang terdiri dari 2X72,5 MHz di teknologi FDD dan 50 MHz di teknologi TDD. Indosat Ooredoo Hutchison dengan 100,9 juta pelanggan memiliki total 135 MHz yang dioperasikan dengan teknologi FDD.
Mengenai keberadaan sumber daya manusia, secara alami akan terjadi pengurangan. Meskipun dijamin tidak akan ada pemecatan, merger berisiko menciptakan situasi di mana satu pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan satu orang kini dikerjakan dua orang.
Biasanya, salah satu dari mereka akan mundur, baik karena posisi yang kurang menguntungkan, usia yang sudah cukup untuk pensiun, atau kurangnya pemahaman akan teknologi mutakhir. “Pemaksaan” PHK secara lembut memang akan terjadi, misalnya melalui kompensasi PHK yang menggiurkan, yang umum disebut sebagai “salaman emas” atau golden shake hand.
‘Golden shake hand’ akan membuat perusahaan lebih ramping dan efisien, tanpa merugikan karyawan yang disasar.