News

Tak Berlandasan Hukum, MK Tolak Gugatan PPP di Kabupaten Yahukimo


Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan atas adanya perpindahan suara terhadap partai Perindo dan Partai NasDem.

Ketua MK Suhartoyo mengatakan bahwa gugatan PPP tidak beralasan hukum, sehingga pihaknya tidak bisa menerima gugatan tersebut.

“Dalam pokok permohonan, menolak permohonan PPP sepanjang perolehan suara calon anggota DPRD Kabupaten Yahukimo Daerah Pemilihan (Dapil) Yahukimo 5 untuk seluruhnya,” kata Suhartoyo dalam sidang putusan sengketa Pileg 2024 di MK, Jakarta Pusat, Senin (10/6/2024).

Dalam pertimbangan hukum, hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menyebut bahwa mulanya PPP mendalilkan di Distrik Ubahak telah terjadi perpindahan suara PPP kepada Partai Perindo sebanyak 6.340 sura dan Partai NasDem sebanyak 800 suara.

Menurut PPP, seharusnya partainya memperoleh 11.660 suara akan tetapi oleh KPU hanya ditetapkan memperoleh 4.520 suara, sehingga terdapat selisih 7.140 suara.

Setelah mahkamah mencermati alat bukti yang diajukan ternyata terdapat kesamaan data terkait jumlah perolehan suara PPP, Partai Perindo, dan Partai NasDem dengan alat bukti yang diajukan oleh KPU maupun Bawaslu, meskipun berbeda dengan keterangan Bawaslu yang menyebutkan PPP tidak memperoleh suara sama sekali atau 0 (nol).

Berdasarkan alat bukti a quo, jumlah perolehan suara PPP di Distrik Ubahak adalah sebanyak 4.520 suara, sedangkan Partai Perindo memperoleh 6.340 suara dan Partai NasDem memperoleh 800 suara.

Data jumlah perolehan suara tersebut sama dengan data perolehan suara dalam Formulir Model D.Hasil Kecamatan-DPRD Kabko Distrik Ubahak Kabupaten Yahukimo Dapil Yahukimo 5 yang diajukan oleh KPU.

“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menyatakan di Distrik Ubahak telah terjadi perpindahan suara Pemohon Kepada Partai Perindo sebanyak 6.340 suara dan Partai NasDem sebanyak 800 suara, sehingga seharusnya Pemohon memperoleh 11.660 suara adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Daniel.

Alasan yang sama juga terjadi di beberapa distrik lainnya seperti Kosarek, Herapini di kabupaten Yahukimo.

Untuk itu, menurut Mahkamah sistem noken tetap harus dipahami sebagai sebuah instrumen pemenuhan hak memilih dan hak dipilih (rights to vote and to be candidate) setiap warga negara, khususnya bagi masyarakat yang masih menganut konsep Big Man dalam kehidupan sehari-harinya, agar pelaksanaan kontestasi politik tidak malah menimbulkan kerusakan dan perpecahan dalam tatanan hidup bermasyarakat setelahnya.

“Oleh karena itu, menjadi tugas bagi penyelenggara pemilu untuk memfasilitasi hak dimaksud yang tentu membutuhkan pencermatan serta penanganan yang lebih dan bersifat khusus, berbeda dengan daerah-daerah lainnya mengingat realita demografi dan geografi di daerah Papua Pegunungan. Terkait dengan infrastruktur pemilu, tentu yang terpenting adalah pemahaman teknis pelaksanaan di lapangan oleh aparatur KPU dan ketersediaan logistik di TPS,” jelas dia.

“Berkenaan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menekankan pentingnya mekanisme pencatatan data, baik terkait dengan data pemilih, surat suara, hingga kejadian atau peristiwa tertentu yang berkait erat dengan proses penyelenggaraan pemilu,” sambung Daniel.

Back to top button