Tambah Masa Reses Bebani APBN, DPD Era Sultan Najamudin dalam Sorotan
Ada yang tak lazim terjadi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI era kepemimpinan Sultan Najamudin. Yakni masa reses ditambah. Dampaknya, anggaran reses anggota DPD membesar yang memberatkan APBN.
Mantan anggota DPD asal Aceh, Fachrul Razi mengaku heran dengan penambahan jumlah masa reses di masa persidangan terakhir dari periode keanggotaan DPD-RI.
Dirinya mengingatkan seluruh pimpinan DPD, penambahan masa reses berpotensi menjadi masalah hukum di kemudian hari.
Menurut anggota DPD dua periode (2014-2024) itu, tidak pernah terjadi penambahan masa reses di persidangan terakhir dari periode keanggotan DPD.
Sesuai aturan perundangan, masa reses DPD harus mengikuti masa reses DPR. Sehingga khusus di masa persidangan terakhir, reses hanya empat kali, bukan lima kali.
“Saya dengar dari kawan di DPR, ada yang heran dengan DPD sekarang yang menambah jadwal reses. Padahal dulu, tidak pernah. Saya ingat tahun 2019, kita reses empat kali. Tahun berikutnya, baru lima kali dalam setahun. Sama dengan DPR. Ini implikasinya terhadap anggaran yang bersumber dari APBN,” kata Fachrur, Jakarta, Jumat (10/01/25).
Artinya, lanjut mantan Ketua Komite I DPD itu, domainnya adalah penggunaan uang negara, di mana Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, disebutkan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
“Apalagi bila kita mengacu kepada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, disebut di Pasal 3 Ayat (3), bahwa setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia,” urai pendiri FRASA and Partner Lawfirm.
Direktur Eksekutif Meta Politik Indonesia itu juga mempertanyakan tugas dan fungsi legislasi DPD bila masa reses, tidak mengikuti jadwal yang sama dengan DPR. Karena, implikasinya terhadap pembahasan RUU di DPR.
“Karena itu UU MD3 berbunyi masa reses DPD mengikuti DPR, agar bisa selaras dalam proses legislasi dalam kontek pembahasan RUU. Jangan sampai DPR bahas RUU, DPD sedang reses,” kata Fachrur.
“Apalagi anggota DPD itu disumpah untuk taat menjalankan UU. Dan UU MD3 menyatakan reses DPD harus mengikuti reses DPR. Tahun 2024 ini DPR reses empat kali. Kenapa DPD bisa lima kali. Ini bisa saja dianggap sebagai pelanggaran perintah dan amanat UU lho. Saya sebagai anggota yang pernah duduk dua periode hanya mengingatkan saja, karena masyarakat juga mengawasi kinerja parlemen di Senayan,” pungkas alumni Universitas Indonesia (UI).
Seperti diketahui, dalam periode kepemimpinan DPD selama ini, reses hanya empat kali dilaksanakan di masa persidangan terakhir dari periode keanggotaan. Sehingga, pada masa jabatan 2019-2024, jadwal dan acara persidangan DPD RI di tahun sidang 2019-2020 hanya menjalankan reses empat kali, sama dengan DPR RI.
Tetapi, di era pimpinan DPD RI masa jabatan 2024-2029, jadwal dan acara persidangan DPD RI di tahun sidang 2024-2025 diputuskan reses lima kali, karena terhitung dua masa reses di bulan Oktober dan Desember 2024, ditambah tiga kali reses di tahun 2025 di bulan Februari, April dan Juli mendatang.